Jumat, 22 Januari 2010

Pesan Panjangku Untuk Mas "Y" ... !

hanya sekedar memberitahu uneg" yg selalu mengganjal dihatiku...
up to you, want you to read or no...
karena aku belum benar2 lega sebelum menunjukknnya padamu...
"boleh kamu langsung hapus jika tak suka dg pesanku ini..."

tapi aku masih bingung mau memulainya darimana,
aku ingin kau tahu aku rindu padamu "Ho ho ho, jo diguyu nak terlalu lebay"...

aku baru tahu kalau ternyta aku sangat membutuhkan perhatianmu setelah kau jauh dariku.. aneh loh, koq ini bisa terjadi padaku,,, padahal mungkin kau hanya mengaggapku sebagai teman, paling tidak adiklah... "Asbak ae".

aku tak akan memintamu menjadi seperti apa yg aku inginkan, jika sudah terlanjur cinta, akupun akn merasakan sakit jika org yg kucinta seprti menjauh dariku, sama sekali tak pernah mencoba tuk menghubungi/menemuiku... "tapi mbuh ya awakmu piye, seng tak rasak'e hanya long distance owq..."

semuanya itu terserah kamu si, entah mau menghindar, cuek, ataupun sengaja menjauhiku karena tak mau berhubugan dgku lagi... "Aku rak pengen ndadek'e awakmu loro ati owq..."

tak pernah ada rasa penyesalan karena aku punya perasaan yg dalam terhadapmu, meskipun entah kau peduli/tidak... "Seng penting aku tresno"

entah kau merasa atau tidak kalau aku tak pernah tenang setiap kali memikirkanmu.. "Nangis terus goro2 g'iso ngurangi perasaanku neng awakmu mergo terlanjur tresno"

tp kayk'e g' sopan juga kalau aku duluan yg nulis kyak gini sama kamu... "Coz, q wes rak kuat mendem perasaan koyo' ngene".

aku gak tahu perasaanmu ke aku itu seperti apa, coz setelah aku tahu perasaanmu sebulan kemarin, kau jadi meghilang tanpa jejak, paling lihat kamu pas di counter aja... "tak rasak'e mergo iki aku dadi rak iso nahan kangen".

mungkin bisa dibilang juga kalau aku ini gadis cengeng, hanya gara2 masalah sepele seperti ini aku tak kuasa melakukan apapun dengan ikhlas. "Kabeh serba kepontang-panting, kurang sabare awakku nrimo kenyataan iki".

terus,,, kau juga tahu kan beberapa status fbku yg serig tertuju padamu, "Tp mbuh yow kau pernah buka'i fbku opo ora".

aku memang gadis lemah yg sangat sulit memendam perasaanku terhadap dirimu... "mgkn mergo ncen cewek ki luweh akeh rapuhe, ndadi'ke pikirane sering rak tenang".

so... kaya'e perasaanku emang dah terlalu dalam sehingga aku tak mampu melupakan seorang pemuda yg namanya tercantum dalam dirimu... "mesti kau jek ilenglah karo jengenmu dewe".

aku gak tahu apakah seorang pemuda juga akan merasakan hal yg sama sepertiku atau tidak jika berada dalam posisiku. "Soale aku rak pernah ngrasak'e dadi cah lanang".

aku juga gak pernah tahu isi hatimu seperti apa sehingga membuatku benar2 penasaran ingin sekali menyelaminya hingga aku benar-benar bisa mengerti perasaanmu.. "Susah loh tuk cari tahu, coz aku rak mungkin takon2 karo kanca2mu"

bukan karena aku malu ingin bertanya ttg dirimu ke teman2mu, tapi karena aku takut kau tak suka dg sikapku yg sok ngebet banget pengen tahu seperti apa mas "Y" ini. "bakalan ndadek'e awakku kisinen dewe nak ncen awakmu rak mengharap koyo ngono".

aku tak pernah tahu kau menganggapku sebagai apa dalam hidupmu, karena pemuda sepertimu memang susah sekali ditebak.. "mungkin mergo saking penasarane aku neng awakmu".

apa mgkn aku yg emang gak pantas mencintai pemuda seperti dirimu. "mgkn mergo saking buru'e sifatku".

yah gitu lah, tapi jangan gara2 masalah ini menjadikanmu selalu kepikiran terus... anggep ae semua baik2 saja... "ora mergo aku ngroso kePDnen pas awakmu bar moco iki langsung mikirke aku terus".

eh, tapi jo sampek kok guyu loh tulisanku iki, aku ngrangkainya sampe mumet2an, mbolak-mbalik kata2 seng pas, ngature iku loh seng dadekke aku sampek gerogi meh nulis ngene iki...

ho ho ho... tapi aku dah agak lega sih dah kirim ini ke mas...!

satu lagi... jangan kira setelah ini aku akan dg mudah melepaskanmu loh mas...!! sampai ke ujung dunia pun kau akan tetap ku raih... ho ho ho "Lebay men yow"...
tapi ncen ngono owq...

yo wes, love you ae and see you mas "Y"...

Selasa, 19 Januari 2010

Kesedihan Yang Mendalam Tanpa Ada Yang Mampu Mengobati

* * *

Cintaku bertepuk sebelah hati, sayangku bertepuk sebelah jiwa, rinduku bertepuk sebelah nyawa...!!!

Tuhan... Mungkin memang hanya aku yang tahu seperti apa perasaanku saat ini, sedih, merana, tersiksa, serasa hidup tiada artinya...

Aku tak pernah berharap apa-apa darinya kecuali hanya sebuah perhatian. Entah ia juga memikirkan diriku atau tidak, namun... setiap detik, setiap menit, setiap hari, bahkan setiap waktu, nama dan wajahnya selalu menganggu pikiranku. Bahkan ketika aku ingin tidur pun selalu terpikirkan olehnya.

Setiap kali aku melihat seorang pemuda, hatiku selalu berkata mungkin itu dirinya, meskipun aku tahu dan aku benar-benar sadar bahwa ia tak mungkin tiba-tiba muncul ketika aku mengharapkannya...

Ingatanku selalu tertuju padanya, awalnya aku tak merasa gerogi ataupun gugup setiap kali tak sengaja bertemu dengannya, tapi... aku mulai berubah 180 derajat. Setiap kali tak sengaja bertemu dengannya, perasaan gugup, salting dan gerogi selalu menyelimuti hati dan tubuhku ini. Padahal aku sudah mencoba menyeimbangkan keadaanku dengan merefresh pikiranku agar tak selalu tertuju padanya, tapi tetap saja aku gagal. Aku benar-benar belum sanggup untuk menempuh jalan sejauh ini, kehidupanku belum seimbang dengan dunia yang kusandang saat ini.

Setiap kali aku membuat tulisan, entah itu novel, cerpen maupun mengerjakan tugas-tugas temanku, khayalan saat mencari ide pun selalu dihantui perasaan yang tak menentu dalam hatiku, dirinya selalu menjadi inspirasi bagiku hingga aku mampu mengkaryakan sebuah tulisan, bahkan dalam waktu yang sangat singkat aku mampu menyelesaikan sebuah novel karena semangat yang tinggi.

Memang dirinya tak pernah memberiku semangat apalagi support, terlebih-lebih dukungan, sama sekali tak pernah. Tapi setiap kali ingat dirinya aku selalu merasakan semangat yang tinggi, selalu merasakan kehadirannya meskipun hatiku selalu sepi tanpa dirinya.

Tapi itu kemarin... Untuk saat ini, pikiranku down karena merasakan kerinduan yang mendalam tanpa bisa terobati... Bahkan untuk mencari ide buat tulisan baruku aku tak mendapatkannya, sudah lebih dari 3 hari ini aku tak mendapatkan ide apa pun, padahal biasanya dalam waktu kurang dari sehari aku sudah mendapatkan beberapa ide untuk tulisanku hingga akhirnya aku memilih satu ide yang benar-benar mantap dan cocok dengan pemikiranku.

Sepertinya aku benar-benar sudah gila dibuatnya, aku tersiksa oleh ketidak pastian perasaan yang ada dalam hatiku terhadapnya. Aku tak pernah tahu seperti apa perasaanya terhadapku, bahkan ia tak pernah sekalipun menghubungiku. Aku tak percaya kalau ia lupa padaku, tapi aku percaya kalau ia mungkin tak ingin menghubungiku, bahkan mungkin malas untuk bertemu denganku.

Aku tak percaya ini bisa terjadi pada diriku, bahkan untuk melupakan dirinya hanya untuk sekejab pun aku benar-benar tak sanggup. Dia benar-benar telah membunuh ketenanganku, ia merubahnya menjadi sebuah kesunyian, kegelisahan, kesedihan, keresahan, kesepian dan kerinduan yang mendalam... Tapi kenapa ia tak mau bertanggup jawab...???

Ia tak pernah memberitahu kepadaku bagaimana kabar maupun keadaannya, ia tak pernah sekalipun menanyakan kabar dan keadaanku. Tapi bodohnya kenapa aku masih menaruh perasaan lebih terhadapnya...? meskipun aku telah terluka, tapi sulit bagiku untuk melepaskannya, sulit bagiku untuk membiarkannya pergi meninggalkanku, sulit bagiku untuk melupakannya walau hanya sekejab.

Cinta... sejak dulu aku tak pernah percaya dengan yang namanya cinta sejati. Itu hanya ada pada diriku terhadap Tuhanku... Tapi, aku mempunyai perasaan sayang yang berlebih terhadapnya, aku juga mempunyai perasaan rindu yang berlebih terhadapnya.

Seringkali aku berusaha untuk mengobati rasa rinduku dengan memandangi beberapa fotonya, tapi semakin aku larut dalam suasana itu, semakin aku merasakan sakit yang tiada tara hingga tak mampu disembuhkan oleh siapapun, bahkan aku yakin sekalipun ia datang untuk menemuiku, sengaja untuk melampiaskan kerinduannya padaku, aku tetap akan merasakan sakit, bahkan lebih sakit lagi jika memang aku bertemu dengannya...

Sekalipun aku terlihat mampu bertahan, namun dalam hatiku aku merasakan kerapuhan, sangat rapuh, bahkan hatiku seakan mudah robet layaknya selembar kertas yang mampu dirobek oleh siapapun. Hatiku juga seperti sayap kupu-kupu yang mudah sekali robek, bahkan hanya sekedar untuk terbang dengan sayap itu, hanya karena hembusan angin, sayap itu bisa robek.

Hatiku juga layu, layaknya sekuntum bunga mawar merah yang telah dipetik oleh seseorang yang tak bertanggung jawab, lalu membuangnya begitu saja hingga akhirnya layu dan kering.

Lalu apa yang harus aku lakukan...? Aku bukan tipe gadis yang suka mengejar-ngejar cinta yang tak pasti, apalagi sampai bersikap se-agresif mungkin agar aku bisa mendapat perhatian lebih darinya. Bukan... aku bukan gadis yang seperti itu.

Aku juga bukan seorang gadis yang akan melakukan apa saja demi mendapatkan cinta seorang pemuda yang kucintai, tapi aku juga bukan seorang gadis yang mudah mendekati seorang pemuda yang kucintai...!!!

Entahlah... Aku sendiri tak tahu pasti aku ini siapa bagi dirinya, aku tak tahu ia menganggapku sebagai siapa dalam hidupnya. Meskipun sahabatku berkata bahwa pemuda itu mungkin hanya mempermainkanku karena ia tak mau memperjuangkan cintanya terhadapku, tapi aku tetap tak mungkin bisa mempercayai hal itu, meskipun aku sadar bahwa mungkin ucapannya menunjukkan satu hal yang ia pahami akan posisiku.

Aku serasa menemukan sosok Naya yang pencemburu jika melihat seorang pemuda yang kucintai dekat dengan gadis lain, dalam arti lebih perhatian pada gadis lain. Aku juga menemukan sesosok Naya yang berkarakter penakut akan kehilangan seorang pemuda yang kucintai... Aku benar-benar menemukan sosok gadis yang bodoh dan tolol dalam diri Naya.

Huff... Kubiarkan saja itu terjadi pada diriku, aku tak peduli sampai kapan akan berlanjut... Tapi untuk saat ini, aku akan selalu merefresh pikiranku agar aku mampu kembali merasakan ketenangan meskipun tanpa kehadirannya disisiku...!

Mungkin... Memang aku harus mengikuti kata hatiku untuk terus bertahan dalam kondisi yang demikian, aku harus memfokuskan duniaku karena memang itulah yang mampu membuatku bertahan.

Antara Cinta dan Cita... Kalau aku mesti disuruh memilih salah satu dari itu, maka aku tak mungkin sanggup. Karena aku bisa meraih citaku karena ada sebuah cinta, dan aku bisa mendapatkan cinta karena citaku...

Hah... Lama-lama aku menjadi bingung mode On...!!!

Jumat, 15 Januari 2010

Ending Novel "Ingin Kubunuh Sahabatku"

* * *


Aku tak sengaja melihat mereka menelusuri tempat ini, aku tak tahu mau kemana mereka, kuikuti mereka layaknya seorang polisi yang membuntuti buronan, atau malah seperti seekor macan yang sedang mengincar mangsa. Dipertengahan jalan mereka terlihat menghentikan seseorang yang berkendara motor, itu pemuda yang pernah kuajak ke rumah Hana ketika aku menjenguknya. Alvino, untuk apa mereka menghentikan perjalanan pemuda itu, ada urusan apa hingga mereka pergi dengan Alvino. Aku tak tau mereka membiacarakan/menanyakan apa. Lihatlah… mereka terlihat serius.

Mereka berbalik arah, aku harus bersembunyi, aku tak mau mereka mengetahui keberadaanku. Tiba-tiba tanganku serasa ada yang menarik, ternyata Azka, sepertinya ia tahu bahwa aku butuh tempat persembunyian yang aman. Dibalik pagar tembok ini mereka pasti tak akan melihat kami.

Ternyata mereka lurus setelah mereka berbalik arah, bersama dengan pemuda bermotor itu menelusuri gang ini.

Aku mengikuti mereka, Azka menawarkan diri untuk ikut dalam penyelidikan ini, aku senang ia menawarkan diri untuk membantuku, aku mengiyakannya. Azka yang ternyata membawa motor pun kemudian menuntun motornya untuk mengimbangi langkahku yang pelan. Mereka berhenti didepan rumah Hana. Terlihat Hana langsung masuk ke dalam rumahnya, lalu Ryan, ia berlari lurus, mungkin ia mau menuju ke rumahnya, entah mau mengambil apa aku tak tahu.

“Lihatlah”. Azka mengeluarkan suaranya.

Ternyata Hana mengambil motornya, mereka masih berhenti didepan rumah Hana, setelah beberapa waktu lalu Ryan datang dengan mengendarai motornya. Akhirnya mereka meluncur, entah mau kemana aku tak tahu. Hana memboncengkan Lidia, sedang Nita menebeng Ryan, mereka lurus…

“Butuh tumpangan?”

“Sepertinya ini akan menjadi penelusuran yang seru”.

“Kau siap?”

Aku mengiyakan perkataanya lalu naik ke motornya, Azka tancap gas dari belakang mereka, mungkin jarak kami dengan mereka sekitar 10 meteran. Ternyata mereka mengikuti kemanapun motor Alvino melaju, aku yakin ini benar-benar seru…

Aku penasaran kemana mereka akan berhenti, dan mau dibawa kemana mereka sama Alvino, ini pasti sangat penting, aku yakin…

“Kau yakin akan mengikuti mereka”.

“Sudah sejauh ini apa aku harus memintamu untuk kembali?”

Ia tak membalasnya, mungkin ia hanya tersenyum mendengar jawabanku. Mungkin nggak ya Azka memikirkan hal yang sama denganku bahwa aku sangat penasaran mau dibawa kemana keempat sahabatku itu oleh Alvino.

Tanpa kusadari tiba-tiba aku ingat bahwa aku pernah menelusuri arah jalan ini, ketika itu aku sedang menuju ke sebuah tempat yang nyaman dimana tak ada satu orang pun yang menggangguku, karena waktu itu aku sedang bersedih.

Kudengar Azka seperti bertanya sesuatu padaku, karena aku tak terlalu mendengarnya, aku pun memintanya untuk mengulangnya sekali lagi supaya aku bisa menjawab pertanyaan yang baru saja ia lontarkan padaku.

“Kau tahu kemana arah jalan ini”.

“Aku pernah menelusuri jalan ini”.

Azka kembali diam, ia tak menjawabku, ia juga tak bertanya kemana sebenarnya arah jalan ini. Dalam hatiku selalu penuh Tanya, mau kemana mereka, mungkin seperti itu juga yang dipikirkan Azka.

Azka menghentikan kendaraanya setelah ia tahu bahwa mereka telah berhenti disuatu tempat. Itu tempat yang pernah kukunjungi, kini aku tahu bahwa mereka pasti sedang mencari persembunyianku dengan meminta bantuan dari Alvino.

“Kau tak ingin menghampiri mereka?”

“Temani aku”.

Azaka pun memintaku untuk kembali naik ke motornya, karena ia akan segera meluncur mendekati mereka. Hanya butuh waktu yang tak lebih dari setengah menit, Azka berhenti dan aku pun turun dari motornya. Aku tersenyum melihat mereka, terlihat mereka begitu kecewa karena tak mendapatiku.

“Kalian mencari sesuatu? Sepertinya kalian baru mengetahui persembunyian seseorang, tapi sayangnya seseorang yang kalian cari belum bisa kalian temukan, boleh aku menawarkan bantuan?”

“Tisna”.

“Saliza”.

“Indirani”.

“Tisna Saliza Indriani…”.

“Yup, that my name”.

Aku tak segera menghampiri mereka, karena merekalah yang terlebih dahulu menghampiriku. Terlihat dari raut wajah mereka seperti ingin mengatakan sesuatu.

“Cepatlah katakan, aku sudah tak sabar”.

Lidia tiba-tiba memelukku dengan erat, hingga nafasku terasa sesak didadaku. Sepertinya gadis ini telah menyadari kesalahannya dan sudah berhasil membunuh ego yang pernah mangkal didalam hati dan jiwanya.

“Jadi kau masih ingat aku?”

“Kau bercanda Saliza”.

“Aku tak tahu apa yang terjadi pada kalian hingga kalian menyadari bahwa aku masih membutuhkan kalian”.

Lidia, tiba-tiba ia menyodorkan sebuah buku sebesar klipingan tebal kepadaku setelah ia raih dari dalam tas cangklongnya. Aku tak tahu apa isi dalam buku ini, tanpa bertanya pada mereka aku langsung membukanya. Di halaman pertama kudapati sebuah judul dari buku ini, aku membacanya cukup keras.

“Sahabatku bukan penghianat”.

Aku begitu terkejut bahwa ternyata mereka punya naskah novelku versi cetak ini, padahal aku sendiri belum sempat mencetaknya. Aku penasaran darimana mereka bisa mendapatkan naskah ini, sedang naskah ini ada dalam komputerku.

“Mustahil kalau kalian punya ini”.

Aku benci ketika melihat mereka hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku, padahal aku benar-benar butuh penjelasan dari mereka darimana naskah ini bisa ada di tangan mereka.

“Darimana kalian mendapatkannya? Sedang aku yakin kalian tak tahu bahwa aku telah membuat novel ini”.

“Kau yakin ingin tahu darimana kami mendapatkannya?”

“Tentu saja Nit”.

“Pemuda yang mengantarkanmu kesiniliah yang memberikan naskah ini kepada kami”.

“Azka?”

Aku menoleh ke arah Azka setelah Hana memberitahuku, ternyata ia sudah berada disampingku sejak tadi, tapi aku baru menyadarinya.

“Kau masih ingat bahwa aku pernah mengatakan padamu bahwa aku akan membantumu, tapi tetap saja kau merasa yakin bahwa aku tak mungkin bisa membantumu. Aku yakin kamu pasti penasaran darimana aku mendapatkan naskah itu”.

“From where?”

“Kamu masih ingat bahwa aku pernah meminjam flashdiskmu?”

Mendengarnya aku pun mencoba mengingat-ingat kapan Azka meminjam flashdiskku, dan aku pun berhasil membuka memoriku.

So… you open my document?”.

“Maaf, tapi waktu itu aku benar-benar penasaran ingin tahu isi dari dokumen penting itu, meskipun bibirku mengatakan bahwa itu bukan hakku, tapi hatiku benar-benar penasaran ingin mengetahui isinya hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk membukanya. Awalnya aku hanya membaca judulnya, tapi saat aku sadar bahwa itu adalah milikmu, akhirnya aku memutuskan untuk mencetaknya agar aku bisa santai membacanya. Aku sempat terkejut ketika kudapati beberapa cerita nyata dibagian yang membuat aku yakin bahwa novel itu adalah novel karanganmu yang mengisahkan dirimu dan sahabat-sahabatmu. Meskipun semua nama kau samarkan, tapi aku tetap bisa memahami tokoh-tokoh dalam novel itu termasuk pemuda yang pernah menjadi tambatan hatimu lima tahun silam”.

Kak Wisnu? Aku baru sadar bahwa aku juga memasukkan tokoh itu dalam novelku, tapi kenapa Azka harus membahas bagian yang itu juga.

“Sebenarnya waktu aku datang ke rumahmu beberapa hari yang lalu, aku sudah tahu isi novelmu, tapi aku sengaja tak membahasnya denganmu karena aku masih ingin menunggu yang lainnya sadar dari kesalahan mereka, aku ingin mereka mencerna isi dari novel yang kau buat itu. Lalu, tadi kami sempat datang ke rumahmu tapi kami tak mendapatimu. Kami mencari-cari keberadaanmu tapi tetap saja tak ketemu. Akhirnya dipertengahan jalan kami bertemu dengan pemuda ini dan kemudian menanyakan perihal keberadaanmu, siapa tahu pemuda ini mengetahui persembunyianmu. Dengan senang hati pemuda ini mau membantu kami, dan akhirnya sampailah kami di tempat sepi ini”. Jelas Nita panjang lebar padaku.

“Dan aku sengaja membuntuti kalian”.

Aku tak tahu kalau ternyata waktu itu ketika Nita datang ke rumahku ia sudah tahu tentang novelku ini, aku tak tahu kalau dari raut wajahnya yang menurutku aneh itu ternyata ia menyembunyikan hal ini kepadaku. Pantas aku tak mampu menebaknya, lalu aku menatap Lidia, wajahnya begitu haru dan merasa bersalah.

“Lidia, aku tahu kau pasti merasa bersalah padaku dan ingin meminta maaf, tapi aku tak ingin mendengar kata maaf darimu karena aku telah memaafkanku, sejak awal aku juga tak sungguh-sungguh menyalahkanmu meskipun aku selalu gonduk setiap kali kau melontarkan kata-kata yang menyakitkan hatiku”.

“Maaf Saliza, waktu itu aku benar-benar buta hati, tapi aku benar-benar minta maaf, masalah surat yang pernah kau berikan itu, karena aku tak memberitahukannya ke Nita dan Ryan, bahkan aku tak pernah membalasnya. Tapi perlu kau tahu bahwa aku masih menyimpan surat itu di rumahku”.

“Aku sudah tak memikirkan masalah itu”.

Tiba-tiba Hana menghampiriku, ia tersenyum manis padaku, Lidia yang melihatnya kemudian mengeluarkan beberapa kata yang membuatku sedikit terkejut.

“Aku tak akan melarang kalian untuk berhubungan lebih dari sahabat, karena aku bukan Tuhan”.

Aku terdiam, bukan perkataan itu yang ingin aku dengar dari bibir Lidia, bahkan aku tak pernah berharap untuk menjadi kekasih Hana, aku ini sahabatnya, jadi tak akan pernah pantas menjadi kekasihnya.

“Aku tahu kau tak akan pernah membalas cintaku, karena aku tahu bahwa aku sahabatmu, tapi ada satu masalah yang selalu mengganjal dihatiku. Aku tak suka ending dari novelmu, aku nggak suka ceritanya. Kenapa endingnya sang tokoh utama yaitu kau harus rela membiarkanku dimiliki Lidia. Mungkin kau punya feeling bahwa Lidia menyukaiku, tapi sebenarnya dia tak pernah mencintaiku”.

“Oh ya?”

Aku tak tahu bahwa ternyata feelingku itu salah besar, kini aku baru sadar tentang satu hal Bahwa ternyata tak selamanya feeling itu selalu sesuai dengan kenyataan, intinya feeling itu bisa saja salah.

“Saliza, sory… kemarin ketika Azka memberikan naskah novel itu kepada kami, aku sempat menolak, bahkan aku sempat berkata seperti ini “Untuk apa? Itu bukan urusan kami”. Tapi Azka sempat mengatakan sesuatu seperti ini “Sepertinya kau yang harus pertama membaca isi naskah ini”. Yang sejak awal aku menolak, akhirnya aku mau menerima naskah itu karena aku cukup penasaran dengan ucapan Azka”.

“Begitu kah?”

“Dan akhirnya Nita menyarankan agar kami membaca bersama, salah satu dari kami ada yang membacanya dan yang lainnya mendengarnya, secara bergantian, sesekali kami memberikan beberapa komentar atas isi dari novelmu ini”. Tambah Ryan.

“Aku suka novelmu”. Puji Nita padaku.

“Tapi aku sempat heran sejak kapan kau kembali ke dunia tulis menulis itu”.

“Aku rindu pada duniaku itu, dan hasrat untuk kembali menulis tiba-tiba menggebu di benakku, dan akhirnya akupun mampu menyelesaikan naskah itu dalam waktu kurang dari satu bulan”.

“Boleh aku beri sedikit saran?” Azka mulai kembali mengangkat suara.

“Saran apa Ka?”

“Sepertinya ending dari novelmu itu mesti kau benahi”.

Usul Azka benar-benar membuatku tersenyum, mereka juga sangat setuju dengan usul pemuda tampan ini.

“Hey, why you silent? Kau pikir sedang nonton bioskop?”

Pemuda yang kutegur itu hanya tersenyum, aku benar-benar sadar bahwa Alvino sedang menyaksikan peristiwa ini. Lalu kuucapkan rasa terima kasihku yang mendalam kepadanya karena telah membawa keempat sahabatku kesini.

By the way, apa kabarnya Eliana? Apa kalian sudah menjadi teman baik?”

Mendengarnya Alvino hanya tersenyum, tapi senyumannya itu bukan sebuah senyuman yang mengisyaratkan bahwa ia senang, lebih tepatnya itu sebuah senyuman kecut.

“Sepertinya aku tak akan pernah melihatnya lagi”.

“Maksud kamu?”

“Dia sudah jauh”.

“Aku semakin tak mengerti dengan perkataanmu, bisakah kau jelaskan lebih detail?”

“Eliana sudah pindah keluar kota untuk selamanya bersama keluarganya”.

Aku tersenyum mendengarnya, aku tak percaya ia mengatakan hal itu, lihatlah… Eliana sedang berada dibelakangnya, tapi Eliana meminta agar aku maupun yang lainnya diam alias tak memberitahu keberadaannya saat ini. Aku jadi semakin penasaran dengan mereka, apa maksud semua ini.

“Apa kau punya rasa terhadapnya?”

“Jangan bercanda”.

“Aku serius”.

“Kalaupun iya, toh ia tak mungkin membalasnya, apalagi kembali kesini, mustahil”.

“Siapa bilang aku tak kembali kesini? Apa kau tak bisa melihat gadis dibelakangmu ini?”

“Eliana…!”

Pemuda yang berada dihadapanku ini benar-benar sangat terkejut melihat keberadaan Eliana yang tiba-tiba muncul dibelakangnya, mungkin ia seperti tak percaya masih bisa melihat gadis cantik itu, mungkin benar kalau pemuda ini menyukainya.

“Sejak kapan kau ada disitu?”

“Sejak kau mengatakan bahwa kau tak akan pernah melihatku”.

“Jadi kau mendengarnya?”

“Mendengar apa?”

“Yang tadi”.

“Aku tak mengerti dengan ucapanku”.

“Jangan bercanda”.

“Tapi aku suka bercanda”.

Sepertinya ini akan menjadi sebuah ending yang sangat indah, aku berjanji akan menghapus ending di novelku dengan mengganti ending yang baru saja datang ini.

“Aku rasa kita harus kembali, biar Alvino dan Eliana menyelesaikan percakapan mereka”.

“Kalian akan kembali?”

“Tentu”.

“Kau tega melihatku gugup seperti ini…”.

“Hey, ayolah Alvin… kau seorang pemuda yang pemberani”. Aku membalasnya sambil memberikan sebuah senyuman penyemangat untuknya.

“Tapi tidak untuk saat ini”.

“Kau jangan bercanda”.

“Kali ini aku serius kak Saliza”.

“Apa? Kau panggil aku kak?”

“Karena kau kakak kelasku”.

“Hmmzz.. jadi kau sudah tahu, oky… selamat menikmati”.

Aku pun meninggalkan mereka berdua, Eliana bersana Alvino, aku tak ingin menggangu mereka, keempat sahabatku mengikutiku dari belakang, begitu juga dengan Azka.

“Kau ingin menawariku untuk memberikan tumpangan padaku?”

“Tentu… silakan naik”.

Mendengarnya keempat sahabatku tertawa, aku tak tahu apa yang mereka tertawakan, karena aku rasa tak ada yang lucu dari perkataanku maupun perkataan Azka.

Akupun menawarkan mereka untuk berkumpul di rumahku, mereka menyetujui saranku. Kemudian kami tancap gas menuju ke rumahku, rasanya hatiku begitu tenang dan nyaman, aku lega karena masalahku dengan keempat sahabatku telah terselesaikan dengan baik, ini benar-benar akhir cerita yang indah dalam hidupku.

Setengah jam lebih kami menelusuri jalur yang sama, akhirnya kami sampai di rumahku. Mereka memarkir motor mereka di halaman rumahku, aku tersenyum melihat kebersamaan ini. Mereka pun langsung menuju ke rumahku, kemudian leyeh-leyeh di teras rumahku yang berkeramik ini. Lihatlah Ryan, ia langsung merebahkan tubuhnya, sepertinya ia juga lega dengan permasalahan yang telah terselesaikan ini. Bukan hanya aku maupun Ryan saja, tapi juga Hana, Lidia dan Nita, lalu Azka…? Sejak tadi sepertinya ia tak bisa berhenti tersenyum, persis seperti orang yang tengah mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara hingga ia tak bisa melupakannya.

Lihatlah… pemuda itu datang menengahi kebahagiaan kami, ternyata ia masih berani menemuiku setelah beberapa hari ini aku tak melihatnya. Bersama dengan mas Dennis ia menghampiri kami berenam, sepertinya mereka baru saja ngobrol di rumah mas Dennis. Mereka menebarkan senyuman ke kami, tapi aku tak bisa membalas senyuman itu, aku tak mau ia melihat senyuman termanisku yang pernah ada.

Aku tak tahu, kira-kira apa yang ada dalam pikiran sahabat-sahabatku termasuk Azka, apakah mereka memikirkan sesuatu yang aneh terhadap pemuda ini atau bagaimana, mereka diam, tapi mereka memberikan senyuman manis kepada kedua pemuda itu.

“Begitu mahalkah untuk mendapatkan sebuah senyuman darimu?”

Ia menanyakan sesuatu yang tak mampu aku jawab, kenapa juga ia harus bertanya seperti itu, ia terlalu basa basi, ia juga terlalu mempermasalahkan senyumanku.

“Kau tak mungkin bisa menghindar dariku”.

“Karena aku memang tak akan menghindar”.

“Kau menantangku”.

“Benar, aku memang menantangmu”.

“Kau tak takut?”

“Kenapa aku harus takut?”

“Karena aku telah berhasil menggali perasaanmu yang sudah pernah kau kubur dalam-dalam itu”.

“Kau terlalu yakin”.

Aku tersenyum miris, pemuda ini benar-benar terlalu yakin bahwa aku tak mampu bertahan dan ia telah berhasil menggali perasaanku yang pernah kukubur dalam-dalam itu. Aku heran, bagaimana mungkin pemuda ini bisa seyakin itu.

Suasana ini benar-benar terasa begitu hening bagiku, keheningan ini membuatku semakin tak tahu harus bersikap seperti apa didepan pemuda ini. Apa mungkin mas Dennis telah menceritakan curhatanku kepada pemuda yang pernah kucintai ini.

“Mas Dennis…”.

“Maaf Saliza, tapi Wisnu memang harus tahu”.

“Jadi mas Dennis membocorkannya?”

“Aku hanya ingin kalian bersatu”.

“Apa mas kira aku akan bahagia? Aku tak ingin terluka untuk yang kedua kalinya”.

“Saliza, kau tak akan mungkin bisa melupakannya”.

“Azka, darimana kau bisa yakin bahwa aku tak akan mungkin bisa melupakan sosok pemuda dihadapanku ini”.

“Coba kau buka novelmu, kalau nggak salah di halaman 51, kau bacalah pada paragraph terakhir”.

Aku pun mengikuti saran pemuda ini, kubuka novel halaman 51, aku pun kemudian membaca tulisan pada paragraph terakhirnya dengan nada dasar hingga mereka benar-benar mendengarnya dengan jelas.

“Aku benci saat tiba-tiba aku merindukannya seperti ini, aku benci saat aku memikirkannya seperti ini. Padahal aku ingin membuktikan padanya bahwa aku tak akan terjerat lagi kedalam pesona yang ia siratkan pada diriku. Dia benar-benar hebat, mampu membuatku kembali jatuh cinta padanya. Aku benar-benar gila dibuatnya, harusnya ia tak usah muncul dalam kehidupanku kembali, harusnya aku tak perlu mengingatnya kembali. Harusnya dia lenyap dari kehidupanku setelah ia pergi meninggalkanku begitu saja, aku tak perduli sekalipun ia pergi meninggalkanku untuk selamanya, tapi sepertinya aku tak akan mungkin bisa melupakannya”.

Aku baru sadar bahwa aku telah memasukkan kalimat ini kedalam novelku, aku benar-benar terjebak dalam permainanku sendiri, sekarang apa yang harus aku lakukan setelah aku merasa malu.

“Kau jangan pernah malu karena pernah menulis kalimat itu dinovelmu”.

“Azka, aku benci karena kau selalu bisa menebak pikiranku”.

Ia hanya tersenyum, harusnya ia membantuku untuk menutupi rasa maluku ini, entah mau kutaruh dimana mukaku ini, aku sudah terlanjur memperlihatkannya pada pemuda yang bernama Wisnu Danu prasetya ini.

Tapi aku harus bisa menghadapi pemuda misterius ini, harusnya aku bisa melacak karakter pemuda ini sebelum aku menantang keberaniannya.

“Saliza, harusnya kau rela membiarkan perasaanmu itu mengalir dengan sendirinya”.

“Apa maksud kamu?”

“Kalau kau memang masih mencintaiku, kau tak akan mungkin bisa membohongi perasaanmu sendiri, karena cintamu itu bukan sebuah paksaan”.

“Kalau memang begitu, lalu apa maumu?”

“Aku hanya ingin kau jujur pada hatimu jika kau memang masih punya perasaan terhadapku”.

“Jangan bercanda”.

“Apa wajah dan kedua mataku benar-benar terlihat bercanda dimatamu?”

“Ayolah… kau jangan membuatku semakin terpojok”.

“Aku senang kau mengakui hal itu”.

“Dan kau puas melihatku seperti ini?”

Ia hanya tersenyum, pemuda ini benar-benar penjahat dalam hidupku, dia ibarat seorang musuh yang telah menang dalam sebuah peperangan.

Kini aku benar-benar menyadari satu hal, Bahwa hati memang tak bisa berbohong pada diri sendiri. Aku juga benar-benar telah menyadari akan perasaanku ini terhadap pemuda ini, ia benar-benar mengalahkanku.

“Kau menang”.

“Ini bukan masalah menang ataupun kalah, tapi masalah perasaan”.

Kini, keheningan berubah menjadi sebuah kenyataan yang pasti, kenyataan yang tak mampu aku hindari, aku tak bisa berlari menghindarinya, kenyataan yang benar-benar terjadi dalam hidpuku, dan aku harus mempercayai kenyataan ini, dan itu yang aku benci.

“Apa kau masih mau mengelak dari perasaanmu itu?”

“Saliza, kau harus tahu satu hal bahwa Wisnu kembali hanya untukmu, untukmu seorang Za”.

“Untukku seorang?”

Bernarkah yang dikatakan mas Dennis bahwa pemuda ini memang kembali hanya untukku? Itu tandanya ia tak pernah melupakanku, dan aku selalu ada dalam hati, jiwa dan pikirannya. Apakah mungkin aku bisa mempercayai ucapan mas Dennis barusan.

“Kau tak percaya?”

Aku menggelengkan kepalaku, bukan karena aku tak percaya, tapi karena aku sendiri belum tahu pasti harus mempercayainya atau tidak.

“Apa kau masih sakit hati padaku?”

“Seharusnya kau menyadari hal itu”.

“Tak bisakah kau memaafkanku?”

“Sulit bagiku untuk melupakannya”.

“Lalu apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa memaafkanku”.

“Aku akan semakin sakit jika kau masih ada dalam kehidupanku”.

“Jadi harapanmu adalah untuk melenyapkanku?”

“Harusnya kau tahu itu”.

“Jadi jalan satu-satunya agar kamu bahagia memang itu? Tapi aku tak mungkin bisa ikhlas kehilangan dirimu untuk yang terakhir kalinya, tak bisakah kau memberikanku sebuah kesempatan?”

“Sepertinya kesempatan itu bukan untukmu”.

“Jadi kau benar-benar ingin mengusirku dari kehidupanmu?”

“Forever”.

Setelah mengatakan hal itu, tiba-tiba salah satu sahabatku menarik tanganku, Hana… apa yang ia lakukan? Wajahnya terlihat begitu serius, sepertinya ia mau mengatakan sesuatu hal penting padaku.

“Kau jangan mengatakan sesuatu yang bisa membuat dirimu menyesal, kalau kau menyuruh kak Wisnu pergi, maka selamanya kau akan sengsara karena tak bisa memilikinya, karena aku yakin kau tak akan bisa melupakannya”.

“Lalu bagaimana dengan perasaanmu terhadapamu? Kau pasti akan terluka”.

“Aku tak pernah serius mencintaimu”.

“Kau bohong”.

“Aku serius”.

“Jadi kau hanya bercanda? Keterlaluan…”.

“Dengarkan aku, kau itu beruntung bisa dicintai oleh pemuda seperti kak Wisnu”

Aku tak mengerti dengan pernyataanya ini, apa ia tak tahu bahwa aku sengsara karenanya, jadi mana mungkin bisa dibilang beruntung, mustahil.

“Jelaskan padaku maksud dari perkataanmu itu”.

“Kau mencintainya, diapun mencintaimu”.

“Intinya?”

“Tak semua orang seberuntung kamu yang bisa memiliki seseorang yang dicintaiya, jadi kau harus mempertahankan kak Wisnu”.

“Mempertahankannya? Untuk apa aku mempertahankannya?”

Lihatlah… Azka hanya diam, aku tak tahu apa yang ia pikirkan, begitupun dengan Nita, Ryan dan Lidia. Lalu mas Dennis dan kak Wisnu, mereka berdua menanatap ke arahku dengan tatapan mata yang cukup tajam. Mungkin mereka bertanya-tanya pada diri mereka sendiri apa yang sedang kami bahas.

“Kau harus yakin bahwa memang kak Wisnu adalah cinta sejatimu”.

“Sejak dulu aku tak pernah percaya dengan cinta sejati”.

“Paling tidak calon suami, pendamping hidup atau mungkin jodoh”.

“Aku belum memikirkannya sampai sejauh itu”.

“Oky, kalau gitu orang yang paling kau cintai yang bisa membahagiakanmu”.

“Tanpanya aku bahagia bersama kalian”.

“Ayolah… pikiranmu jangan kau buat dangkal”.

“Kau mengejekku”.

“Sekarang sebaiknya kau hampiri dia dan katakan padanya bahwa kau memberikan kesempatan untuknya”.

“Aku tak mau”.

“Kau harus mau”.

“Jangan coba-coba memaksaku”.

“Kalau begitu biar aku saja yang membertahukannya”.

“Jangan…!”

“Kalau begitu kau yang harus mengatakannya”.

“Aku bilang jangan memaksaku”.

“Kau benar-benar susah diatur, oky… aku tak akan memaksamu”.

Setelah itu aku meninggalkannya, lalu menghampiri kak Wisnu, tepat didepannya, meskipun hatiku merasa gugup dan gerogi, tapi aku mencoba mengendalikan emosiku dan menyeimbangkan keadaanku, dan aku harus bertahan karena telah terjebak dalam situasi seperti ini.

“Kau butuh kesempatan kan? Kau beruntung karena aku masih mau memberikanmu kesempatan”.

“Ini bukan semata-mata karena demi sahabatmu kan?”

“Ini murni demi perasaanku terhadapmu, jadi kau jangan sampai berpikiran seperti itu”.

Lihatlah… kak Wisnu tersenyum senang, begitupun dengan yang lainnya. Mereka benar-benar terlihat senang mendengar perkataanku, sepertinya mereka mendukung.

“Aku mencintaimu Saliza”.

“Jangan bercanda”.

Aku tersenyum setelah menjawab perkataan kak Wisnu, begitupun dengan yang lainnya, mereka bersedia mengembangkan bibir mereka kembali. Untuk yang terakhir kalinya, sepertinya aku benar-benar sangat bahagia.

Kini aku mendapat satu pelajaran berharga dari mereka, Bahwa memberikan sebuah kesempatan kepada seseorang adalah sama halnya dengan memberikan sebuah kebahagiaan yang tiada tara kepada orang itu.

So… untuk semuanya, aku hanya ingin berpesan, bahwa dimanapun dan sampai kapanpun, sahabat adalah keluarga yang tak akan pernah bisa menjadi bekas ataupun seorang mantan. Jadi intinya di dunia ini tak ada kata “Mantan Sahabat”, dan keinginanku untuk membunuh jiwa merekapun telah berhasil mereka lakukan sendiri.

* T A M A T *

Jumat, 08 Januari 2010

Ingin Kubunuh Sahabatku

* * *

Aku terdiam, merenungi nasibku seorang diri, dalam kesendirian yang mencengkram batinku. Aku tak pernah berharap lebih dari sebuah persahabatan kecuali sebuah kebersamaan dan kepercayaan yang pasti dari sahabat-sahabatku. Aku pun tak ingin meminta lebih dari mereka kecuali kasih sayang dan perhatian mereka. Peristiwa malam itu benar-benar membuatku cukup miris hingga sekujur tubuhku rubuh dan lunglai, tak mampu menahan kepedihan yang teramat menyakitkan dari beberapa kata yang ku dapat dari sahabatku.

“Kini aku tak bisa lagi menaruh simpati seperti dulu ke kamu setelah kamu melunturkan kepercayaanku terhadapmu, dasar pembohong...!”

Aku tak pernah berpikir sampai sejauh itu, aku tak pernah membayangkan betapa sakitnya menerima kenyataan malam itu. Kini aku tahu satu hal tentang sebuah persahabatan, Persahabatan akan retak jika rasa kepercayaan sudah tak lagi ditanamkan dalam sebuah persahabatan.

Bahkan aku sendiri tak tahu pasti permasalahan yang terjadi antara aku dan mereka, tiba-tiba mereka menuduhku melakukan hal-hal konyol yang membuat mereka marah dan benci kepadaku. Aku sendiri tak tahu apa hal-hal konyol yang mereka tuduhkan kepadaku malam itu, mereka hanya bilang bahwa aku bukan seorang sahabat yang pantas untuk di pertahankan, aku juga bukan seorang sahabat yang pantas untuk mereka. Coba pikir secara dalam, sahabat mana yang tak akan sedih dan perih mendengar kenyataan itu dari mulut seorang sahabat dekat yang sudah seperti saudara kandung.

Selama bertahun-tahun bahkan sejak kecil hingga remaja, aku selalu bersama mereka, mungkin kalau di hitung sudah lebih dari 10 tahun kami bersahabat. Aku mengenal mereka semenjak aku satu SD dengan mereka, aku ingat sekali waktu mereka berempat menyapaku dengan senyuman manis mereka yang cukup membuatku merasa terhormat. Merekalah yang pertama kali menjadi teman belajar sekaligus teman bermainku. Sebelumnya aku memang tak mengenal mereka karena aku belum pernah melihat mereka sebelum aku masuk sekolah. Mungkin karena aku jarang bermain, karena aku sering kungkum di dalam rumah sehingga aku menjadi gadis kecil yang kuper (kurang pergaulan).

Ibuku sering bercerita kepadaku dan kepada kakak-kakakku bahwa sejak aku dilahirkan aku sering sakit-sakitan. Bahkan Ibuku sering berjanji kepadaku jika aku sembuh, Ibuku akan membelikanku gelang juga kalung. Mungkin do’a Ibuku sering terkabulkan, aku sembuh dan Ibuku pun menepati janjinya untuk membelikanku gelang dan kalung. Namun, aku malah menghilangkan pemberian dari Ibu ketika aku beserta keluarga besarku menginap disalah satu rumah saudara kami ketika mengadakan pernikahan.

Kata Ibu, mungkin gelangku hilang di curi orang, karena waktu saat aku terbangun, tiba-tiba aku menangis cukup keras dan Ibu menghampiriku, Ibu terkejut ketika melihat perhiasanku raib begitu saja. Kata Ibu, aku menangis karena aku terbangunkan oleh seseorang yang mungkin mengambil gelang dan kalungku itu sehingga membuatku takut dan mengeluarkan air mata.

Mungkin karena saking pendiamnya diriku ini, aku jadi tak begitu mengenal sosok orang-orang di sekitarku. Tapi… ketika aku sudah lulus SD, tepat ketika aku kelas tiga SMP, entah ada apa dengan diriku waktu itu, tiba-tiba segala rasa takut, canggung dan kurang percaya diriku hilang begitu saja. Mungkin hal itu terjadi karena terpengaruh dengan pergaulan sahabat-sahabatku yang begitu nemplok dalam diriku. Ya… Merekalah yang mengubah hidupku menjadi sedemikian pemberani dan suka dengan hal-hal yang berbau ketegangan dan misteri. Aku memang tak pernah memecahkan sebuah misteri yang ada di kehidupanku, tapi aku cukup membuat hal-hal yang ada dalam hidupku adalah sebuah kemisteriusan. Bahkan terkadang, aku menganggap sahabat-sahabatku itu sebuah misteri yang belum terpecahkan sampai sekarang. Makannya mereka sering menganggapku aneh dan suka bertingkah konyol.

Dan kini aku tahu satu hal lagi tentang kehidupan, Semua yang ada disekitar lingkungan kita, mampu mempengaruhi kehidupan kita.

Kini mereka menjauhiku, membiarkanku sendirian di tepian jalan ini dengan berbungkus jacket hitam. Mereka seakan ingin membuangku jauh-jauh dari kehidupan mereka, bahkan mereka seakan menyesal telah mengenal dan menjadikan aku sebagai sahabat mereka selama bertahun-tahun. Mungkin dari mereka ada bilang seperti ini, “Gadis aneh dan konyol seperti dia tak seharusnya menjadi sahabat kita”.

Mungkin juga ada yang berkata seperti ini, “Cukup malam itu saja terakhir kalinya kita bicara dengan gadis yang namanya Tisna Saliza Indriani, dan sebaiknya kita menjauhinya.”

Ah, itu pasti akan membuatku semakin miris jika memang benar. Lalu… Siapa yang akan menemani kesendirianku? Siapa yang akan menegurku jika aku melakukan kesalahan, siapa yang akan memberiku kesempatan mengoreksi kesalahanku jika mereka pergi, siapa yang akan menjadi pelipur laraku ketika aku sedang bersedih, dan siapa pula yang akan menjaga dan melindungiku dari gangguan para cowok-cowok rese’ yang suka menganggu ketenangan hidupku.

Aku memang tak punya musuh, tapi kini, mereka seakan musuh terbesarku dalam hidupku yang menentang semua keinginanku untuk tetap bersama mereka. Mereka hanya salah paham, mereka sendiri tak tahu pasti siapa yang mengadu kepada mereka bahwa aku selama ini sering membohongi mereka. Bohong apa? Aku sendiri tak tahu telah berbohong apa kepada mereka.

Ku cari-cari beberapa kesalahan dan kebohongan yang pernah ku perbuat pada mereka, tapi aku tak pernah menemukannya sejak peristiwa menyesatkan malam itu. Nita Mardiana, Lidia Megawati, Ryan Malikan dan Dwi Hana Pambudi. Mungkin mereka berlima salah tangkap dalam masalah itu, tapi mereka menyimpulkannya dengan sesuatu yang terlalu berlebihan sehingga membuat mereka membenciku. Aku tak mungkin bisa hidup tanpa mereka, aku tak mungkin bisa berdiri tegak tanpa ada mereka disampingku.

Semakin malam, semakin dingin angin malam yang berkeliaran di tempat ini. Semakin kencang, semakin membuatku menggigil kedinginan, tapi aku belum siap untuk pulang ke rumah sebelum aku mengetahui letak kesalahanku kepada mereka. Suara langkah kaki seseorang yang bersepatu membuat pendengaranku semakin tak karuan. Semakin bising dan semakin ingin aku memarahi diriku sendiri.

Tiba-tiba aku mendengar suara seorang pemuda yang khas di telingaku dari belakang tempatku duduk di pinggir jalan raya ini. Ia memanggil namaku dengan sebutan gadis tomboy, ah… aku sendiri juga menganggap bahwa diriku yang dulu dan sekarang sangat berbeda, sekarang aku seakan seperti gadis yang bersifat lelaki. Sifat pemalu dan minderanku yang dulu melekat di kehidupanku telah lenyap begitu saja di buang oleh sahabat-sahabatku. Ya… Sahabat-sahabatku yang kini seakan menjadi musuh dan orang terasing bagiku.

Andai aku bisa membaca pikiran mereka, pastinya aku tahu apa yang mereka pikirkan tentang diriku selama ini. Tapi bodohnya, aku tak pernah mengharap kepada Tuhan untuk bisa membaca pikiran orang lain, paling tidak sahabatku.

Langkah kaki pemuda yang menegurku tadi serasa semakin dekat ke arahku, ku-meliriknya setelah ia benar-benar berada di dekatku, duduk disampingku sambil tersenyum menatap mataku.

“Penyesalan memang sering datang belakangan.”

Tiba-tiba ia mengucapkan kata-kata yang membuat otakku yang pas-pasan dalam menangkap pemikiran orang lain ini semakin tak mengerti. Mungkin, ia mengira aku menyesal karena kejadian malam itu, karena memang ia tahu kejadian itu, bukan cuman dirinya, tapi teman-teman yang ikut menghadiri acara reuni SMA juga sebagian besar tahu. Mereka hanya terbengong-bengong dan diam melihat aku dan keempat sahabatku adu mulut.

Pemuda disampingku ini tak lain dan tak bukan adalah teman semasa SMAku dulu, kami memang tak begitu dekat seperti kedekatanku dengan keempat sahabatku. Tapi ia cukup baik dan terkadang membuatku cukup terhibur disaat ia tiba-tiba muncul dihadapanku saat aku sedang sedih dan disaat keempat sahabatku tak bisa menghiburku. Seperti malam ini, ia tiba-tiba muncul tanpa ku panggil.

“Untuk apa kau mengikutiku?.” Kucoba bertanya kepadanya.

“Aku hanya tak ingin kamu melakukan hal-hal konyol yang membuat semua orang kehilanganmu.”

“Aku masih punya Tuhan, aku masih sayang dengan nyawaku, dan aku masih ingin menghabiskan waktuku di bumi ini.”

“Dan kau tak ingin meninggalkan sahabat-sahabatku dalam waktu yang cepat.”

“Siapa sahabat-sahabatku?.”

“Nita, Lidia, Ryan dan Hana.”

“Mereka sudah bukan sahabatku lagi, lebih tepatnya mereka mantan sahabatku.”

“Di dunia ini tak ada kata mantan sahabat.”

Aku merasa terdiam, dia benar, di dunia ini tak ada kata mantan sahabat, yang ada mantan kekasih, mantan majikan maupun mantan pembantu, mantan pegawai atau bahkan mantan istri dan mantan suami.

“Kalau bukan mantan sahabat, lalu mereka siapaku?.”

“Mereka tetap sahabatmu, meskipun kamu merasa mereka sudah tak memperdulikanmu, meskipun kamu meresa telah berbuat kesalahan besar terhadap mereka.”

“Merasa? Mereka memang tak peduli lagi denganku, aku memang telah berbuat kesahalan besar pada mereka.”

“Memangnya kamu sudah tahu persis letak kesalahanmu?.”

Aku berpikir lagi, dari mana ia tahu bahwa sampai malam ini aku belum menemukan letak kesalahanku terhadap keempat sahabatku itu. Apa mungkin ia tahu apa yang aku pikirkan? Tapi dia bukan peramal seperti Mama Lauren maupun Ki Joko Bodo, apalagi Om Deddy Corbuzier.

“Benar kan? Kamu belum tahu dimana letak kesalahanmu?.”

Ia kembali bertanya, membuatku semakin penasaran dengan tebakannya yang tepat itu, sehingga membuatku berbalik tanya darimana ia tahu bahwa aku masih mencari-cari kesalahan yang telah ku lakukan terhadap mereka.

“Malam itu kamu kelihatan bingung, kamu juga sangat terkejut dengan pernyataan mereka bahwa kamu adalah seorang pembohong. Kamu memang tak menyangkalnya, tapi aku sendiri tak tahu kenapa kamu hanya terdiam dan tak mau membela dirimu. Tapi yang ada dalam benakku, aku berpikir bahwa kamu sendiri tak tahu apa yang telah kamu lakukan sehingga membuat mereka sangat marah kepadamu. Dari situlah aku menyimpulkan bahwa kamu tak bisa membela dirimu karena kamu sendiri tak mampu membela dirimu.”

Aku kembali terdiam, ia benar-benar tahu apa yang terjadi padaku malam itu, ia bahkan langsung menebaknya.

“Hebat…! Kamu benar-benar hebat Ka, seorang Azka yang pendiam namun pemberani, mampu menebak pikiranku.”

“Kau salah, aku hanya menimbang kata-katamu malam itu hingga mampu ku simpulkan apa yang ada dalam pikiranmu.”

Kini aku tahu satu hal lagi, Hanya dengan mengetahui karakter seseorang, seseorang bisa mengetahui apa yang dipikirkan orang lain.

Tapi herannya, kenapa aku nggak bisa menebak pikiran orang lain? Aku nggak bisa membaca pikiran orang lain, aku bukan Azka yang pandai menimbang-nimbang karakter orang lain sehingga mampu menyimpulkan pikiran orang lain.

“Aku memang bukan pemuda yang pandai memecahkan masalah orang lain, tapi aku suka membantu memecahkan masalah orang lain.”

“Aku sendiri tak mampu memecahkan masalah ini, apalagi kamu yang tak terlibat dalam masalah ini. Aku yakin kau tak akan mampu membantuku dalam hal ini, sebaiknya urungkan saja niatmu.”

“Seseorang yang hebat adalah seseorang yang mau menghargai niat baik seseorang tanpa meremehkannya.”

Aku tak menyangka ia akan menyindirku seperti itu, membuatku mesti harus meminta maaf kepadanya. Namun, yang bikin aku tak pernah berhenti terheran-heran, ia begitu tenang menanggapiku, ia selalu terlihat stay cool setiap saat. Bahkan, membuat diriku harus memberikan dua jempol atas karakternya, meskipun secara diam-diam. Aku sempat berpikir, bagaimana ia bisa sering sendirian, punya sedikit teman, padahal ia baik, apa karena ia begitu polos dan pendiam sehingga membuat dirinya tak begitu suka berkumpul dengan orang banyak? Bahkan, setahuku, akulah teman yang paling dekat dengannya, meskipun dia bukanlah teman yang paling dekat denganku. Namun, malam ini begitu terasa beda, ia seakan telah menjadi teman yang paling dekat denganku.

Tapi mengapa sahabat-sahabatku tak ada yang bisa seperti Azka, polos, pendiam namun punya karakter yang cukup membuatku kagum. Nita, gadis bawel yang sangat cerewet yang hoby sekali tidur. Lalu Lidia, gadis manja nan lucu yang pipinya selalu terlihat cubby, membuatku dan sahabat-sahabat yang lainnya ingin selalu mencubiti kedua pipinya. Kemudian Hana, cowok yang rese habis, ricuh namun jenius, yang paling sering menjahiliku. Dan Ryan, cowok simple yang asyik untuk diajak sharing.

Lalu bagaimana dengan diriku? Aku tak pernah tahu pasti seperti apa karakterku, aku hanya tahu dari mereka bahwa gadis yang bernama Tisna Saliza Indriani adalah seorang gadis yang aneh bin misterius, susah di tebak, bahkan terkadang terlihat konyol karena tingkah lakunya.

Itu aku… Aku pun membenarkan pendapat mereka tentang diriku, mungkin seperti itulah aku yang sekarang.

Akupun berpikir kembali bahwa aku hanya manusia biasa yang terlihat sangat biasa dan tak berdaya diantara manusia-manusia biasa ciptaan Tuhan. Lebih tepatnya aku bukanlah manusia yang sempurna. Bahkan, untuk melihat pipi, punggung dan mencium salah satu sikukupun aku tak akan pernah mampu.

Tuhan…

Mengapa disaat aku bersedih

Sahabat-sahabatku justru pergi meninggalkanku

Tuhan…

Mengapa disaat aku butuh mereka dan merindukan mereka

Mereka justru tak datang menemuiku


Ternyata, tak selamanya seorang sahabat akan mengerti perasaan sahabatnya. Mungkin, inilah yang disebut dengan penghianatan dalam sebuah persahabatan.

* * *

Sampai sekarang, aku masih belum mendapatkan sebuah jawaban yang pasti atas kegundahanku. Mereka diam tak memperdulikanku, bahkan di kampuspun mereka tak menyapaku, apalagi tersenyum padaku, untuk melirikku saja mereka ogah. Padahal, Lidia dan Hana masih satu fakultas sastra denganku, bahkan masih satu kelas, tapi mereka seakan menganggap diriku seseorang yang baru dalam hidup mereka sehingga mereka enggan untuk mendekatiku. Ryan dan Nita, mereka beda kelas karena mereka beda jurusan dengan kami bertiga. Saat mereka masuk kedalam kelas kami untuk menemui Lidia dan Hana pun, mereka tak menyunggingkan senyum sedikit pun padaku. Mereka itu seperti angin, datang dan pergi yang tak pernah permisi apalagi pamit, memberikan rasa dingin, lalu pergi tak meninggalkan bekas apapun. Mereka persis seperti hujan, datang dan turun tiba-tiba, lalu berhenti dan pergi meninggalkan bekas air dan luka.

Begitu burukkah aku dimata mereka? Begitu besarkah kesalahanku terhadap mereka? Kini aku benar-benar merasa kesepian tanpa mereka disisiku. Mereka seakan tak memberi kesempatan untukku mengoreksi kesalahanku. Hana, selaku ketua genk, meskipun dia tak pernah mencalonkan dirinya sebagai ketua genk, tapi kami yang mengangkatnya jadi ketua genk, karena diantara kami hanya Hanalah yang paling pemberani dan berjiwa pemimpin. Sehingga mengharuskan kami memilihnya untuk menjadi sang ketua. Dia tak memberiku kesempatan, bahkan untuk menyuruhku mencoba berbenah diri pun tidak, apalagi untuk menyuruhku berubah. Apa itu yang namanya pemimpin yang berjiwa bijak? Atau memang kesalahankulah yang tak termaafkan sehingga membuatnya mengambil langkah untuk tak lagi berteman denganku.

Lihatlah… mereka terlihat bahagia tanpaku, di ngebrak itulah kami sering berkumpul. Kemarin masih ada aku yang mengiringi canda tawa mereka, sekarang berkurang jadi empat. Aku melintasi mereka dengan langkah yang tak pernah pasti, penuh kecemburuan yang tinggi, iri dan rasa ingin berkumpul lagi dengan mereka. Aku yakin mereka melihatku, tapi mereka seolah tak melihat seorang gadis melintas didepan mereka. Mereka seakan merasa eman-eman dengan mata mereka untuk melirikku, eman-eman dengan mulut mereka untuk menyapaku, eman-eman dengan tangan mereka untuk melambaikannya ke arahku.

Mereka bahkan tak berbisik membicarakanku, mungkin benar tebakanku semalam, bahwa mereka sudah tak mau lagi berteman denganku, mungkin benar apa yang ada dalam benakku semalam bahwa mereka tak akan membahas tentangku, cukup malam itu mereka berbicara padaku, dan mungkin itu untuk yang terakhir kalinya. Aku ingin sekali menjerit, memarahi mereka karena mereka diam, menghajar mereka satu persatu supaya mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan sangat membuatku sakit, terluka, perih bahkan tak konsentrasi untuk melakukan pekerjaanku.

Aku tak mungkin mencari sahabat lagi untuk menggantikan mereka, aku tak sanggup untuk mengganti mereka dengan orang lain, belum tentu pengganti mereka lebih baik dari mereka. Tapi kalau aku sendirian, apa mereka akan tergugah hati untuk kembali kepadaku, untuk memberikanku kesempatan kembali menjadi anggota mereka.

“Ah, nggak…! Aku tahu siapa mereka, mereka tak lebih dari orang-orang yang belum mengerti arti sebuah persahabatan, termasuk aku.”

Aku merasa jengkel, tapi aku tak bisa meremehkan mereka, sakit rasanya jika melihat mereka bersama tanpa diriku, ingin rasanya aku membanjiri kedua pipiku dengan tetesan butiran-butiran mutiara dari mataku. Tapi aku bukan seorang Tisna yang dulu, aku bukan Saliza yang cengeng, dan aku juga bukan Indriani yang pemalu. Tapi, rasa takut kehilangan mereka seakan menggerogoti pikiranku, harus sampai kapan semua ini berlangsung? Harus sampai kapan aku menunggu mereka sadar?

Ah… Aku tak mau menjadi gila karena memikirkan mereka, mungkin ini jalan yang terbaik untuk persahabatanku dan mereka, dan mungkin untuk ke depannya, aku mesti lebih bisa menjaga sikapku agar aku tak di tinggal lagi oleh sahabatku.

“Sahabat? Memang siapa yang mau menjadi sahabatku?”. Ujarku pelan namun cukup terdengar.

“Aku… Aku mau menjadi sahabatmu.”

Ah, pemuda itu lagi, lagi-lagi dia datang disaat aku sedang butuh seseorang untuk menghibur kesendirianku, lagi-lagi ia memberikan support kepadaku untuk tetap bertahan. Aku tak pernah tahu apa yang ia inginkan dariku, aku juga tak pernah tahu apa yang ia pikirkan sehingga ia tergerak untuk menolongku. Menolongku dari kesengsaraan batin, menolongku dari goncangan jiwa, menolongku dari ketidak berdayaanku tanpa mereka.

Otakku yang pas-pasan ini tak mungkin mampu menampung berbagai macam pikiran yang melanda hidupku yang mengharuskanku untuk tetap mencari jalan keluar atas masalahku. Mungkin ia memang ditakdirkan sebagai malaikat penolongku, ah… Aku tak mau jadi parno gara-gara memikirkan hal itu.

“Mereka bahagia tanpaku.”

“Mungkin kelihatannya mereka bahagia, mungkin juga kelihatannya mereka tak mau berteman lagi denganmu, tapi aku nggak yakin kalau mereka nggak merindukanmu.”

“Kamu bukan peramal, tapi kamu suka asbak.”

Azka hanya tersenyum manis, tak sedikit pun terlihat dari raut wajahnya yang menunjukkan rasa ketersinggungannya atas ucapanku.

“Andai aku bisa mengontrol emosiku sepertimu.”

“Kamu bisa…”

“Bagaimana kamu bisa yakin?”

“Dengan usaha kamu bisa mengontrol emosimu.”

“Caranya?”

“Tetap berpositif thinking.”

“Aku bukan sepertimu yang tetap tenang setiap menghadapi masalah, aku bukan sepertimu yang cuek dengan musuh, aku juga tak seperti dirimu yang seakan tak ada beban dalam hidupmu.”

“Mungkin kamu melihatku tak punya beban apa-apa, mungkin juga kamu berpikiran bahwa aku nyaman, tentram dan tenang dengan kehidupanku sekarang, itu karena kamu belum begitu mengenal siapa Azka.”

“Maksud kamu…?”

Aku berpikir heran, apa mungkin Azka punya masalah yang lebih berat dari masalahku? Apa mungkin ia menanggung beban yang berat karena ia mesti menjaga kedua adiknya yang masih sekolah, membiayai sekolah mereka, karena kedua orang tuanya sudah kembali ke rahmatullah beberapan tahun silam. Tapi ku lihat ia begitu tegar, bahkan ia tak pernah mengeluh dengan apa yang ia jalani. Ia bukan orang miskin yang mesti bekerja sampingan sana sini untuk mengganjal perutnya dan kedua adiknya. Pekerjaannya yang sekarang cukup bisa dibilang mapan sebagai seorang manager restoran mewah di kota ini, pemilik café persahabatan yang sering jadi tempat tongkronganku dan keempat sahabatku. Bahkan penghasilannya mungkin sama dengan penghasilan ayahku selama sebulan, atau bahkan lebih.

“Kamu itu suka bengong ya?”

Kini ganti aku yang hanya tersenyum manis kepadanya dengan maksud bahwa perkataannya itu memang benar, tapi aku tak tahu apa ia tahu maksud dari senyumanku ini.

“Kamu nggak ke café?”

Dia hanya menggelengkan kepala, lalu aku bertanya mengapa ia tak pergi ke café, paling tidak untuk melihat pegawainya yang sedang bekerja, mungkin untuk mengawasi mereka kali-kali mereka melakukan kesalahan.

“Mungkin Tuhan menyuruhku untuk menghiburmu.”

“Ternyata daya imajinasimu tinggi ya?”

“Ini bukan imajinasi Za, tapi ini sebuah panggilan.”

“Maksud kamu panggilan alam?”

“Emang mau buang hajat?”

Aku tertawa mendengar jawabannya, ia pun ikut tertawa melihatku tertawa, ia benar-benar hebat, seakan lebih hebat dari sahabat-sahabatku. Ucapannya mantap, meskipun terkadang sulit untuk kucerna, karena ia terlalu sering melontarkan kata-kata yang menurutku tak masuk akal, atau mungkin memang akunya sendiri yang kurang cerdas.

“Saliza…”

Aku merasa terpanggil oleh orang lain dari balik obrolan kami, aku dan Azka pun menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang telah memanggil namaku. Mereka… Mereka datang menemuiku, aku merasa mesti membuang rasa gundahku untuk menyambut kehadiran mereka, ternyata mereka masih mau menemuiku. Dan tadi yang memanggil namaku adalah Hana. Aku pun berdiri menghampiri mereka, Azka masih duduk di teras samping rumahku dengan tatapan muka tenang dan tersenyum.

Aku sempat bingung ketika melihat mereka yang tak menyunggingnya bibir mereka sama sekali, tapi aku mencoba berpositif thinking. Hana mulai berbicara ke pokok permasalahan mengapa ia datang ke rumahku.

“Kau menjatuhkannya saat kau melintas didepan kami, dan kami tahu ini sangat berharga buatmu.”

Hana memberikan kalung itu kepadaku, ya… kalung yang tak pernah aku pakai di leherku, tapi aku lingkarkan di pergelangan tanganku, bukan karena aku tak suka dengan kalung itu, tapi karena aku tak begitu suka memakai kalung. Itu kalung yang diberikan oleh salah satu sepupuku dihari ulang tahunku. Sudah dua tahun yang lalu, ketika aku masih semester satu. Sepupuku yang bernama Zea. Kenangan terakhir darinya sebelum ia pergi meninggalku untuk selamanya karena kecelakaan yang menimpanya tepat setelah aku ulang tahun, bersama keluarganya ia kembali ke rumahnya, tapi malang nian nasibnya hingga ia kecelakaan bersama ayah, ibu dan kakak lelakinya. Karena Zea duduk di depan bersama kakaknya, mungkin juga karena ia tak mengenakan sabuk pengamannya, ia jadi terbanting ke depan hingga menerobos kaca mobil depan. Beruntung ayah, ibu dan kakaknya selamat, tapi Zea. Nyawanya langsung lenyap seketika sebelum ia sempat tertolong oleh beberapa warga. Aku tak mampu membendung kesedihanku hingga hari-hariku selalu terpikirkan oleh bayangannya, senyuman manjanya, lesung pipinya ketika ia tersenyum. Aku sudah menganggapnya seperti saudara kembarku, beruntung aku pernah memilikinya dalam hidupku. Aku menerima kalung itu dengan hati miris mengingat nama Zea dan namaku yang tertulis di gantungan kalung itu, Saliza feat Zea.

“Kami memang tak pernah mengerti persahabatan diantara kalian.”

Mereka bergegas pergi setelah Hana mengucapkan kalimat itu kepadaku, mereka memang tak pernah mengerti persahabatan kami, kami bukan sekedar sahabat, tapi saudara, bahkan seperti saudara kembar. Mereka seakan langsung ingin pergi jauh meninggalkanku setelah mengembalikan kalung yang sekarang ku genggam erat-erat, tak ingin ku melepaskannya. Mereka memang tak pernah mengerti dan tak akan pernah mengerti persahabatan yang kami jalani, persahabatan yang jauh dimata namun dekat dihati. Aku dan Zea memang jarang sekali bertemu, paling kami bertemu ketika ada liburan kenaikan sekolah ketika kami masih menginjak bangku SD sampai SMA. Usianya lebih tua dua tahun dariku, membuatku harus menghormatinya, bersikap formal kepadanya. Namun, Zea tak pernah menginginkan aku bersikap sopan kepadanya, Zea menginginkan aku bersikap selayaknya seorang sahabat, yang asal nrocos tapi masih menggunakan akal sehat untuk berpositif thinking.

Mungkin mereka heran, bagaimana mungkin aku bisa dekat dengan Zea sedang aku dan Zea jarang berface to face, jarang berkomunikasi lewat handphone maupun telepon karena memang aku dulu belum pernah punya handphone, jika mesti menggunakan telepon rumah, paling sebulan sekali, itupun hanya untuk menanyakan sebuah kabar dari Zea. Terkadang malah pergi ke wartel untuk menelponnya di temani oleh mereka berempat. Mereka hanya tahu hal itu, mereka tak pernah tahu betapa berartinya Zea untukku, kami memang jarang berkomunikasi lewat handphone. Tapi kami sering mengirim dan menerima surat lewat kantor pos, meskipun itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menerima dan mengirim surat, mungkin kalau di hitung, mengirim dan menerima surat antara Jawa ke Padang sekitar satu minggu, itupun yang dibilang kilat.

Zea… Seharusnya aku memanggilnya kak Zea, tapi ia tak pernah mau dipanggil kak Zea, ia selalu bilang begini padaku. “Aku kan hanya lebih tua dua tahun darimu.” Mungkin juga karena tinggi dan besarnya tubuhku yang sama dengannya, jadi ia tak mau dipanggil dengan sebutan kak. Ah, kak Zea… aku rindu padamu.

Dulu, aku pernah meminta keluarganya untuk pindah ke Jawa supaya aku bisa sering bertemu dengan Zea, tapi orang tuanya tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Orang tuanya tak bisa meninggalkan usaha rumah makannya yang sudah bercabang-cabang itu.

Padahal, Zea ingin pindah kuliah disini, keluarganya setuju saja, tapi hal itu tak pernah tercapai, karena sebelum Zea pindah kuliah, ia sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Kini kakak lelakinya yang sudah berkeluarga tinggal di Jawa, bersama istrinya, kakaknya membuka usaha rumah makan Padang yang letaknya tak terlalu jauh dari tempat tinggalku. Bahkan jika aku makan disana, kakak Zea yang bernama kak Firman itu memberikannya dengan gratis kepadaku dan kepada sahabat-sahabatku yang ku ajak makan disana.

“Hah… Ternyata maksud mereka datang hanya untuk menyerahkan ini?”

“Itu tandanya mereka masih peduli padamu.”

Aku baru sadar bahwa Azka masih berada disini, ia pun mendekatiku dan menyuruhku untuk bersabar, mencoba menenangkan pikiranku agar aku tak mengeluarkan emosiku. Ia lalu pergi meninggalkanku begitu saja, mungkin ia meninggalkanku dengan maksud agar aku bisa berpikir lebih tenang tanpa siapapun yang mau menggangguku.

Bersambung . . .

* * *