Kamis, 25 Februari 2010

First Chapter Novel

* * *
Hari ini hari yang kesekian kalinya aku harus membuat sebuah artikel dari sebuah acara yang menampilkan sebuah penelitian dari seorang professor terkenal yang harus dimasukkan ke majalah LLI, singkatan dari Lifestyle Love Indonesia.

Menjadi seorang wartawan memang harus punya segudang cara untuk mendapatkan sebuah artikel penting seperti ini, meskipun hanya satu artikel saja. Didalam ruangan ini aku harus antusias memperhatikan suasana didalam ruangan ini. Aku juga harus bisa maju kedepan untuk mengambil sebuah pemotretan penting pada professor pencipta alat olah raga terbaru hasil karya pribadinya itu. Hasil karyanya itu ditampilkan didepan para hadirin yang ada diruangan ini, lalu dengan cermat professor yang bernama lengkap Ariyano Fainus Lionando itu menjelaskan manfaat dari alat olah raga yang bentuknya lebih mirip kursi itu.

Aku tak bisa melihat jelas karena didepan ada banyak cameramen dan wartawan lainnya yang sudah memenuhi ruangan depan untuk mendapatkan hasil pemotretan dan mendengarkan penjelasan yang lebih real dari Profesor Nando.

Hari ini sungguh menyebalkan karena aku mesti melakukan pekerjaan ini sendirian, padahal biasanya selalu ada dua wartawan yang selalu bersamaku, tapi karena mereka hari ini ada satu tugas yang berlokasi ditempat yang berbeda, dengan terpaksa aku harus menerima perintah untuk melaksanakan tugas ini sendirian. Aku tak mau menjadi wartawan yang gagal, karena setiap kali aku melakukan tugas bersama kedua temanku aku selalu berhasil, kali ini pun aku juga harus berhasil meskipun hanya seorang diri. Apalagi aku juga tak mau kalau mesti mendengar ceramah dari beruang kutub alias mbak Ine.

Selangkah demi selangkah aku mulai maju kedepan, menyusup diantara orang-orang yang berbadan besar, meskipun aku sudah berusaha semampuku untuk bisa maju kedepan, tapi orang-orang yang berada didepanku ini malah justru semakin mundur, membuat aku harus terpaksa menghindari mereka daripada aku tertimpa badan mereka yang segede gentong ini.

Ahhaa… tiba-tiba muncul sebuah ide untuk bisa menyusup kedepan meksipun butuh perjuangan yang lebih, aku harus merangkak seperti kucing supaya aku bisa menyusup diantara orang-orang ini. Aku pun memulai siasatku, merangkak secara pelan-pelan sambil tetap memperhatikan sekelilingku kali-kali kalau ada orang yang tak sengaja menginjak tangan atau pun salah satu anggota tubuhku yang mungil ini. Aku tak bisa berhenti tersenyum geli sambil terus merangkak untuk maju kedepan.

Dhuugg… tiba-tiba langkah rangkakanku terhenti seketika aku merasa kepalaku tertahan oleh sebuah benda keras, aku mendongak keatas sambil terkejut melihat apa yang aku saksikan sekarang, ternyata bukan sebuah benda yang menahanku disini, melainkan seorang wanita yang mungkin berbobot lebih dari 150 kilo. Aku menabrak kakinya tapi sepertinya ia tak merasakannya karena kulihat matanya masih tertuju kedepan.

Kreecckkk… tiba-tiba rasa sakit yang luar biasa mulai kurasakan dari tangan kiriku, seketika aku langsung menjerit kesakitan karena wanita yang kakinya kutabrak tak sengaja menginjak tangan kiriku ini. Secara otomatis semua mata pun tertuju kepadaku, acara ini seakan terhenti sejenak menyaksikan adegan menyedihkan ini. Ditambah lagi wanita yang tak sengaja menginjak tanganku juga ikut-ikutan menjerit ketika sadar bahwa ia menginjak tangan kiriku. Segera setelah ia sadar kakinya langsung diangkat dan aku pun tergeletak lemas tak berdaya sambil merasakan getaran yang semakin cepat dari tangan kiriku.

"Tolong ada yang bantu nona itu untuk diobati tangannya". Ujar salah seorang menggunakan mikrofon untuk memperjelas kalimatnya yang tak kutahu siapa itu. Mendengarnya tiga lelaki langsung mengangkat tubuhku untuk dibawa keluar dari hotel ini. Mereka kemudian memasukkanku kedalam sebuah mobil, aku sendiri yang merasa kesakitan jadi setengah sadar dan setengah waras.

Perjalanan terasa begitu cepat, mobil yang kami tumpangi berhenti, kemudian dua lelaki diantara tiga lelaki yang membawaku sampai kesini langsung mengajakku keluar dari mobil untuk menuju ke sebuah rumah mewah yang sudah dihadapan kami ini. Aku tak tahu mengapa mereka membawaku kesini, aku yang merasa percaya pun hanya mengikuti apa yang mereka sarankan kepadaku.

Sejak diperjalanan tadi aku terus-terusan memegang erat tangan kiriku sambil menahan rasa sakit yang luar biasa bukan main ini. Aku masih berjalan untuk menuju kedepan pintu rumah mewah tersebut. Setelah sampai tepat didepan pintu besar, salah satu dari kedua lelaki yang mengajakku kesini kemudian mengetok pintu sambil memanggil-manggil nama seseorang.

"Dokter… dokter Zanu… tolong buka pintunya… kami ada perlu dengan anda…".

Tak ada jawaban, mungkin pemilik rumah mewah ini sedang keluar, kudengar ada sebuah mobil berhenti didepan rumah ini, aku dan kedua lelaki yang masih berada disampingku ini pun menoleh ke arah suara mobil tersebut. Seorang lelaki beperawakan tinggi, berkulit kuning langsat dan berwajah hampir-hampir mirip orang korea itu keluar dari mobil tersebut.

"Dokter, kami mau minta bantuan, tangan gadis ini terluka dan harus diobati".

Pemuda itu hanya tersenyum sambil berjalan menuju ke arah kami, aku seperti tak asing dengan wajah pemuda yang dipanggil Dokter Zanu ini. Ia masih muda, mungkinkah benar ia sudah resmi menjadi seorang dokter? Tapi aku masih belum yakin dengan kemampuannya mengobati seseorang. Bisa-bisa jika tanganku diobati olehnya bukannya sembuh malah patah tulang. Oh no… aku tak ingin hal itu terjadi pada tanganku.

"Silkan masuk ke rumahku". Ajak pemuda tersebut sambil membuka pintu rumahnya.

"Maaf dok, kami hanya mengantar gadis ini, karena kami masih ada urusan lain diluar sana".

"Begitu ya, baiklah aku akan mengobatinya".

Kedua lelaki itu kemudian beranjak dari teras rumah mewah ini, aku mencoba mencegah mereka karena aku masih belum percaya dengan dokter ini. Tapi mereka masih membiarkan dokter ini yang mengobati lukaku. Bahkan aku merasa dokter ini bukan seorang dokter sungguhan, melainkan dokter gadungan. Apalagi dilihat dari fisiknya yang masih muda, mungkin usianya belum ada 25 tahun, membuat aku semakin ragu saja.

"Hey… ayo masuk, ngapain masih berdiri disitu?".

"I… iya…".

Dengan penuh rasa penasaran aku pun mengikuti langkah dokter tersebut, aku ingin tahu apakah ia benar-benar bisa mengobatiku. Tapi awas saja jika lukaku ini semakin parah, tak segan-segan aku akan menuntutnya.

"Kau duduk dulu disini, biar aku mengambil obatnya".

Mengambil obat? Memangnya dia sudah tahu lukaku… melihatnya saja belum. Jangan-jangan dia bisa menerawang penyakit orang lain lagi. Ah… nggak mungkin, mungkin memang karena ia seorang dokter, jadi bisa langsung tahu penyakit seseorang tanpa melihat lukanya. Eh tapi… itu juga nggak mungkin, terlalu hebat jika ia bisa seperti itu.

"Coba lihat tanganmu?".

Aku pun mengulurkan tanganku setelah sang dokter kembali ke ruang tamu ini, ia memijat pergelangan tangan kiriku. Kurasakan kesakitan yang cukup dahsyat, apalagi ketika tanganku diplintar cepat secara singkat, membuat suasana hatiku seakan mati sesaat, nyawaku seperti ikut terplintar.

"Kau gila ya… ini tangan, bukan jemuran yang harus diplintar untuk mengurangi airnya".

Sang dokter hanya tersenyum, aku tak tahu maksud dari senyumannya itu menandakan ia mengejekku atau ia hanya ingin tersenyum karena kalimatku yang lucu. Dokter itu terlihat santai memijat-mijat tanganku, aku tak bisa apa-apa kecuali menahan rasa sakit ini. Sesekali ia mengoles sesuatu ketanganku, tapi aku tak tahu krim apa itu.

"Sebenarnya kau dokter sungguhan atau hanya status saja si? Masa cuman dioles dan dipijat-pijat gini, nggak diperban sekalian".

"Jangan banyak bergerak, tulang tanganmu bisa patah".

"Apa? Patah?".

Dokter itu tak menjawab perkataanku, padahal aku benar-benar terkejut karena ucapannya itu, aku tak mau tulang tanganku patah, bagaimana dengan pekerjaanku, kemampuanku hanya dibidang itu. Aku tak bisa membiayai kuliahku jika aku berhenti bekerja.

Artikel dan photonya? Aku belum mendapatkannya karena masalah ini, bagaimana jika beruang kutub itu bertanya, lalu aku harus menjawab apa? Aku tak mungkin berbohong, tapi jika aku jujur, pekerjaanku taruhannya.

Oh my god… aku tak bisa membayangkan hidupku akan kluntang-klantung karena tak bisa membiayai kebutuhanku.

"Selesai…".

Selesai…? Padahal baru sebentar aku melamun, tapi ia sudah main selesai saja mengobati lukaku, aku ragu apakah benar ia seorang dokter.

"Kok nggak diperban?".

"Jadi kamu berharap lukamu lebih parah sehingga harus diperban".

"Ya nggak gitu... Aku ragu dengan predikat doktermu, aku ingin melihat sertifikatnya, ijazah atau apa saja sebagai tanda bukti bahwa kamu benar-benar seorang dokter".

"Sekarang kau boleh pulang karena aku sudah mengobati lukamu".

"Aku akan pulang setelah kau menunjukkan buktinya".

Pemuda tersebut kemudian membereskan apa saja yang ia ambil tadi untuk mengobati lukaku kemudian menuju kedalam. Aku mengikutinya dari belakang dengan langkah mengimbanginya.

"Hey… jalannya nggak bisa pelan sedikit apa".

"Siapa suruh kau mengikutiku".

"Bukannya kau ingin menunjukkan bukti bahwa kau memang seorang dokter".

Pemuda itu tak menjawab, justru ia berbalik arah sambil tersenyum, aku pun ikut berbalik arah untuk mengikutinya.

"Kau masih ingat jalan pulang kan? Pintunya masih disana". Ujarnya ketika ia berhenti sambil menunjuk ke pintu depan.

"Tunjukkan dulu buktinya kepadaku".

Bukannya menjawab ataupun memberikan bukti, dia malah menarik tanganku menuju keluar dari rumahnya ini.

"Hey… lepas, aku tak mau pulang sebelum kau membuktikannya padaku".

Ia berhenti, kemudian melepas tanganku, aku terkejut melihat sosok seorang wanita yang tengah berdiri didepan pintu yang terbuka ini.

"Mbak Alya".

Wanita itu ikut terkejut mendengar aku menyebutkan namanya, aku tak tahu apa yang mbak Alya lakukan disini, mungkinkah mbak Alya mengenal pemuda ini.

"Sedang apa kau disini Vi?".

"A… aku…".

Aku tak bisa melanjutkan ucapanku karena pemuda yang mengaku sebagai dokter ini terlanjur memotong kalimatku.

"Siapa kau?".

"Hey Zan… aku membawakan sesuatu untukmu, sudah lama kan kau tinggal diluar negeri, pasti kau ingin merasakan buah dari negeri ini. Aku ingin mewawancaraimu pagi ini".

"Dengan merayuku membawakan beberapa buah dari negeri ini kemudian membuat alasan tangannya terluka hanya untuk mewawancaraiku. Sabaiknya urungkan niat kalian, aku tak mau diwawancarai, keluar… keluar dari rumahku". Jelas pemuda ini sambil mendorongku keluar dari rumahnya.

"Aku kira sepulang dari paris sifat tertutup dan bencimu terhadap dunia entertainment sudah berubah, ternyata masih melekat dalam diri seorang dokter sekaligus koki bernama Zanu Prayoga Ardiansyah".

"Apa kau bilang? Dokter sekaligus koki Zanu…".

"Diam kau!".

Belum sempat melanjutkan kalimatku, mbak Alya sudah memotongnya. Sungguh benar, menjadi bawahan itu tak enak karena selalu dibentak-bentak dan sering mendapatkan perlakuan rendah dan semena-mena dari atasan, sekalipun tak melakukan kesalahan.

Tapi aku tetap terkejut mendengar kalimat mbak Alya yang menjelaskan siapa pemuda yang ada dihadapan kami ini, seorang dokter sekaligus koki hebat yang saat ini menjadi incaran para wartawan untuk dimasukkan kedalam majalah maupun Koran. Seseorang yang selalu dikejar-kejar karena kehebatannya dibidang memasak. Aku baru ingat bahwa mbak Alya memang ditugaskan mbak Ine untuk mewawancari seorang dokter sekaligus koki yang bernama Zanu Prayoga, dan aku baru sadar bahwa wajah pemuda ini tak asing bagiku karena aku pernah melihatnya dibeberapa majalah.

Hmmm… jadi berita utama yang dibutuhkan oleh para penikmat majalah untuk bulan ini adalah tentang resep masakan-masakan pemuda ini yang selalu bervariasi dan menunjukkan kelezatannya melalui bentuknya.

"Beri aku waktu lima menit untuk mewawancaraimu".

"Sebaiknya kalian kembali".

Jedorrr… pemuda itu langsung menutup pintu rumahnya, mbak Alya pun kemudian mengajakku kembali.

"Kau, bukannya kau harus membuat artikel tentang professor Nando? Kenapa kau malah disini".

Deg! Aku tak tahu harus menjawab bagaimana, aduh… kepalaku jadi pusing, aku tak mampu menjelaskannya, gara-gara terluka tugas hari ini jadi gagal.

"Kenapa kau diam?".

"Maaf mbak, tadi waktu aku menghadiri acara itu, tanganku terluka karena diinjak oleh salah satu hadirin dan harus diobati disini".

"Jadi kau…".

"Iya mbak, aku mohon maaf sekali mbak, lagi pula ini bukan keinginanku".

"Akan membuat alasan apa kau didepan mbak Ine".

"Itu dia mbak yang aku bingung".

"Kau ini, sudah diangkat menjadi asisten pribadiku masih belum cekatan. Sekarang hanya ada tiga pilihan untukmu".

"Apa mbak?".

"Dipecat, mati atau mewawancarai koki Zanu".

Mbak Alya langsung menghilang begitu saja setelah memberikan tiga pernyataan itu kepadaku. Aku tak mau berhenti, apalagi mati, berarti aku harus memilih untuk mewawancarai dokter itu. Apa mungkin aku akan berhasil? Sedang sifatnya saja sudah seperti itu, tak mau diwawancari oleh mbak Alya, apalagi kalau aku yang mewawancarainya, ia pasti akan menendangku.

Sekarang aku baru percaya bahwa ia memang seorang dokter, bahkan aku benar-benar terkejut ketika mendengar pernyataan mbak Alya. Tapi memang sangat dikagumkan melihat seorang pemuda berbakat seperti dirinya, meskipun usianya masih terbilang muda. Setahuku aku melihatnya di majalah baru beberapa bulan yang lalu, dan ketika aku membaca sebuah artikel tentang dirinya, usianya kalau nggak salah 25 tahun, jika usiaku sekarang sudah 21 tahun, maka dia lebih tua 4 tahun dariku.

Mungkin nggak ya diusiaku yang sama dengannya nanti, aku akan menjadi orang yang hebat seperti dirinya. Atau mungkin aku akan menjadi wartawan dan asisten mbak Alya seumur hidupku? Ah… sepertinya aku terlalu berkhayal untuk menjadi orang yang hebat.

* * *

Ruangan yang hanya untuk seorang manager di sebuah PH, mbak Alya alias pemimpin di PH tersebut masuk kedalam ruangan sang manager.

"Bagaiamana wawancaramu dengan koki Zanu".

"Saya sudah menyuruh asisten saya untuk melaksanakan tugas itu manager".

"Apa? Kau panggil aku manager? Bukannya beruang kutub".

Mbak Alya hanya bisa terdiam mendengar kalimat mbak Ine yang memang sifatnya seperti beruang kutub itu, dingin tapi galaknya minta ampun, tak segan-segan menceramahi anak buahnya sampai berjam-jam.

"Apa yang bisa dilakukan asistenmu yang baru lulus SMA itu".

"Dia sudah kuliah".

"Alaah… apapun itu aku tak suka kalau gadis itu yang mewawancarainya, kemampuannya itu apa? Kalau tak ada wartawan yang membantu ia tak mungkin bisa membuat satu artikel tentang orang-orang penting yang ada di negeri ini".

"Manager tenang saja, aku yakin ia pasti berhasil".

"Oke… terserah kau asal dalam tiga minggu ini kau dan asistenmu harus sudah memberikan hasil wawancara itu kepadaku sebelum direktur memintanya".

"Pasti manager".

"Sekarang kau boleh keluar dari ruangan ini… oh ya, satu lagi, bagaimana hasil wawancara profesor nando kemarin? Siapa yang menghadiri acara itu?".

Mbak Alya yang tadinya akan segera keluar dari ruangan mbak Ine langsung berhenti dengan ekspresi wajah sedikit murung.

"Asisten saya yang menghadiri acara professor Nando, tapi karena tangan kirinya tergelintir, jadi semuanya gagal".

"Hah… harusnya kau tak mengangkatnya sebagai asistenmu, lalu kemana yang lainnya? Mengapa kau tak menyuruh yang lainnya saja untuk menghadiri acara itu. Ini benar-benar kacau… kacau…".

"Maaf manager, yang lainnya sudah mendapat tugas berbeda di lokasi yang berbeda".

"Menyedihkan, beri asistenmu tiga pilihan, berhenti, mati atau memberi hasil mewawancara koki itu".

Ucapan sang manager sama seperti ucapan mbak Alya kemarin, mungkin mbak Alya terinspirasi dari sang manager untuk mengikuti gaya bicaranya.

"Sekarang kau boleh keluar".

Mbak Alya pun kemudian keluar dari ruangan manager yang bernama mbak Ine itu, lalu meninggalkan tempat ini untuk menuju ke sebuah tempat yang berbeda. Dari raut wajah mbak Alya, terlihat sekali mbak Alya sangat kesal, apalagi setelah sarapan omelan dari sang penyunting, menambah rasa bad moodnya semakin tinggi.

Aku yang baru sampai di parkiran untuk memarkirkan motorku tiba-tiba dihampiri oleh mbak Alya.

"Vian, kau harus berhasil mendapatkan wawancara koki itu, bagaimana pun caranya, sekarang kau pergi ke tempatnya untuk mendapatkan hasil wawancaranya".

"Apa mbak? Sekarang? Tapi aku…".

"Sekarang atau kau pilih dipecat?".

"I… iya mbak, sekarang aku akan menju kesana untuk mendapatkan hasil wawancaranya".

Baru sampai ditempat aku harus harus meninggalkan tempat ini untuk menuju ke tempat koki itu. Tapi aku tak bisa menolaknya, aku tak mau dipecat. Aku segera melaju dengan menggunakan motor mioku ini untuk menuju ke tempat koki itu, untungnya kemarin pagi aku dari rumahnya, jadinya aku masih ingat jalan menuju ke rumahnya.

Sekitar hampir setengah jam aku sudah mengendarai sepeda motorku untuk menuju ke rumah koki itu. Dan akhirnya aku pun sampai ditempat tujuan. Aku segera menghentikan motorku kemudian turun dan mendekat ke rumah koki itu.

Tempatnya tak sesepi kemarin pagi, ada banyak cameramen, ada banyak wartawan juga yang berada dihalaman rumah sampingnya itu, tapi aku tak melihat ada koki Zanu disana. Aku menghampiri keramaian itu untuk memastikan keberadaan koki Zanu. Oh… ternyata ia sedang bersantai ria sambil duduk di kursi dekat dengan kolam renangnya.

Aku menghampirinya dengan menunjukkan wajah selalu tersenyum didepan semua orang, aku tak mau terlihat kusud hanya karena terpaksa menemuinya untuk mendapatkan hasil wawancara pagi ini, tapi aku harus bisa mendapatkannya atau aku akan dipecat.

"Pagi dokter… maksudku koki Zanu, apa kabar?".

Rasanya kiku sekali mengatakan hal yang basa basi seperti ini didepan koki Zanu, apalagi sama sekali ia seperti tak menganggap kehadiranku.

"Koki Zanu…".

"Apa yang kau lakukan disini". Aku tersenyum mendengar balasannya.

"Aku ingin mewawancarai anda".

Koki Zanu berjalan pelan menuju kesana kemari, aku yang ingin mendapatkan wawancaranya pun harus mengikutinya dari arah samping, kiri dan depan. Aku tak mau kehilangan jejaknya, karena aku harus mendapatkan wawancara darinya.

"Aku ingin mewawancarai anda pagi ini, tolong beri aku waktu sebentar".

"Aku tak ingin diwawancarai".

"Aku mohon dokter, ini menyangkut pekerjaanku, jika aku tak berhasil mewawancarai anda, aku pasti akan dipecat".

"Itu bukan urusanku".

"Aku mohon dokter, lima menit saja, tiga menit, ya udah satu menit".

Dokter sekaligus koki Zanu itu hanya meringis mendengar kalimatku, harusnya ia menjawabnya, bukannya meringis seperti itu, tak tahu banget deh kalau aku ini membutuhkan bantuannya.

"Bagaimana dok? Mau kan?".

"Ambil ini".

Tiba-tiba koki Zanu memberikan berbagai macam sayuran di keranjang kepadaku. Ough… aku tak kuat menahan beban sayuran seberat ini.

"Apa ini?".

"Apa kau bisa memasak?".

"Tidak".

"Untuk mendapatkan hasil masakan yang sempurna, kau harus mencuci semua sayuran itu sampai bersih, jangan sampai ada sedikit pun kuman yang menempel disayuran itu, meskipun hanya setitip jarum benang, karena akan merusak rasa dalam sebuah masakan".

Huh… panjang bener penjelasannya, membuat aku bingung, aku harus membersihkan seisi keranjang sayuran ini sampai bersih, ya Tuhan… malang nian nasibku, ini akan membutuhkan waktu lebih dari sehari untuk membersihkannya, apalagi daun bawang yang penuh dengan tanah ini, ih… aku tak suka dengan baunya.

"Kenapa masih diam disini, ayo bersihkan".

"I.. iya, akan aku bersihkan sekarang".

Hah… apa hubungannya coba mewawancarai dengan membersihkan semua sayuran didalam keranjang besar ini. Aku harus menuju ke tempat yang bisa memberikan aliran air untuk membersihkan semua sayuran ini.

Aku tahu, didepan pasti ada tempat untuk mencuci mobil dan biasanya ada kerannya, dan pasti juga ada selangnya.

Aku segera menuju kedepan untuk mencari keberadaan tempat pencucian mobil, aku beruntung karena tebakanku ternyata benar. Aku mengambil selang yang masih berada dilokasi ini lalu kumasukkan ke ujung keran. Aku pun langsung menghidupkan kerannya, kemudian menyiram seluruh sayuran yang ada di keranjang ini.

Jika dipikir berulang kali, seumur hidup aku tak pernah membersihkan sayuran sebanyak ini, jika disuruh memilih aku tak mau bekerja sebagai pembantu di rumah sebesar ini, menyusahkan saja. Menjadi wartawan saja sudah mendapatkan pekerjakan seberat ini, apalagi jika harus menjadi pembantu. Harus memberereskan rumah sebesar ini, memasak, mencuci pakaian, itu akan sulit bagiku.

Hmm… aku harus membersihkan sayuran-sayuran ini sampai bersih, dimulai dari terong ini, kemudian brokoli, kembang kol, tomat, wortel, lalu daun bawang ini. Iih… sama sekali aku tak suka dengan baunya. Membersihkan akar-akar yang masih banyak tanahnya ini menggunakan sikat sekecil ini.

"Ayo… sikat sikat sikat". Bisikku.

"Membersihkan sayuran harus dengan perasaan, jangan kasar gitu".

Tiba-tiba sang koki sudah berada dibelakangku, huff… mengagetkanku saja, bukannya dibantuin malah hanya dilihatin.

"Apa aku harus membersihkan semua sayuran ini? aku kan mau mewawancaraimu, kenapa malah disuruh membersihkan sayuran sebanyak ini. Lebih baik kau suruh aku mengupas atau pun mengiris wortel saja daripada membersihkan sayuran sebanyak ini. Lagi pula apa hubungannya antara wawancara dengan membersihkan semua sayuran ini".

"Jangan banyak tanya, kalau sudah selesai segera temui aku".

Hah… seenaknya saja pemuda itu menyuruhku, ia pikir aku pembantunya. Tapi aku tak boleh menyerah, apapun akan aku lakukan untuk mendapatkan wawancaranya. Dan setelah pekerjaan ini sudah kuselesaikan, mau tidak mau koki itu harus kuwawancarai.

* * *

Haduh… punggungku… nggak bisa digerakkan gara-gara terlalu lama duduk, hampir seharian aku duduk dalam posisi yang tak berubah. Susah sekali untuk berdiri, rasanya tulang belakangku seperti mau patah, aku nggak kuat jika harus mengangkat keranjang sayuran ini sendirian.

Kebetulan, koki itu ada disitu, lebih baik aku memanggilnya daripada harus berjalan menghampirinya dengan langkah bongkok seperti ini.

"Dokter Zanu… Dokter Zanu…".

Hah… dia tak menoleh sama sekali, pantes… kupingnya disumpeli pakai earphone gitu, kupanggil seratus kali pun kagak bakalan denger. Terpaksa aku harus menghampirinya, kemudian memberitahukan kepadanya bahwa aku sudah selesai membersihkan semua sayurannya.

"Dokter". Tegurku sambil memegang pundaknya, aku tertawa ketika dokter ini terkejut melihatku.

"Kau ini… kenapa kau berdiri seperti itu?".

Hah… pura-pura nggak tahu lagi kalau aku sudah bongkok begini karena sejak tadi pagi duduk tanpa berpindah tempat, mana sang dokter ini masih bisa tertawa melihat wajahku yang seperti ini lagi, benar-benar tak punya perasaan.

"Aku sudah membersihkan semua sayuran".

"Bagus, sekarang kau bawa sayuran itu kepadaku".

"Apa? Dalam keadaan seperti ini kau tega menyuruhku untuk mengangkat keranjang sayuran itu sendirian?".

"Menjadi seorang koki itu harus kuat, nggak boleh lelet kayak kamu gini, sudah sana ambil sayuran itu dan bawa kesini".

"Aku nggak mau".

"Ya sudah kalau nggak mau dapet wawancaraku".

"Ha…? Iya iya aku akan bawa keranjang itu ke kamu".

Huh… menyebalkan sekali pemuda ini, sudah tahu aku bongkok kayak gini, masih disuruh mengangkat keranjang itu untuk dibawakan kepadanya lagi, sungguh tak punya perasaan.

Haduh… punggungku… benar-benar sakit, aku harus tahan dalam dituasi seperti ini, tapi apa hubungannya denganku coba, menjadi koki itu harus kuat. Hah… aku kan bukan sedang belajar menjadi seorang koki, kenapa ia menjelaskan kepadaku layaknya menjelaskan kepada seorang anak buahnya yang ingin menjadi koki, sungguh menyebalkan.

Aku harus mengangkat keranjang ini sendirian, aduh… aku benar-benar nggak kuat, seharusnya pemuda itu yang kesini, bukannya aku yang membawa keranjang ini kepadanya.

"Biar aku bantu".

Tiba-tiba seorang lelaki berdiri tepat dihadapanku, waw… wajahnya begitu tampan, aku benar-benar terpesona didalam senyumannya.

"Biar aku saja yang mengangkatnya, memangnya mau dibawa kemana sayuran ini".

"Emm… ke dokter Zanu".

Pemuda keren yang ada dihadapanku ini pun kemudian mengangkat keranjang sayuran ini. Oh… sungguh aku mendapatkan keberuntungan didalam kesialanku hari ini.

"Kenapa kau berjalan seperti itu?".

"Hmm…??? Emm…???". Aku tak mampu menjawabnya.

"Punggungmu sakit?".

"He’em".

"Pasti kecapaian karena membersihkan semua sayuran ini ya?".

"Kok tahu?".

"Baju dan celanamu basah".

"Ough… iya".

"Koki Zanu, ini sayurannya".

Dokter Zanu pun menoleh ke arah kami, ia terkejut seketika melihat yang membawa keranjang sayuran itu bukanlah aku, melainkan pemuda disampingku ini.

"Kenapa kau yang membawanya? Harusnya kan wartawan ini".

"Nggak apa-apa adikku, kasihan, dia nggak kuat kalau mesti mengangkat keranjang ini sendirian".

Apa? Pemuda ini memanggil dokter Zanu adik? Oh my god… jadi mereka bersaudara, tapi sifat mereka sangat berbeda. Pemuda ini terlihat baik, padahal aku tak mengenalnya, tapi ia sudah mau menolongku mengangkat beban itu. Lalu dokter Zanu, padahal ini kedua kalinya aku bertemu dengannya, tapi dia masih pelit saja untuk memberikan wawancaranya kepadaku.

"Jadi kalian bersaudara?".

"Iya, kenalkan… aku Levi Prayoga Ardiansyah, kakaknya Zanu Prayoga Ardiansyah".

"Tunggu, sepertinya aku pernah mendengar nama itu".

Benar… aku sepertinya pernah mendengar nama itu, Levi Prayoga Ardiansyah, ya Tuhan… aku baru ingat bahwa pemuda disampingku ini adalah seorang pelukis terkenal yang pernah belajar melukis di luar negeri. Kenapa aku bisa lupa, ternyata dia lebih tampan dari foto yang sering tersebar di Koran-koran maupun majalah. Mimpi apa aku semalam bisa bertemu orang-orang hebat seperti dokter Zanu dan Mr. Levi.

Yah… orang-orang sering memanggilnya Mr. Levi karena sifatnya yang ramah dan bisa dijadikan peniru layaknya seorang guru.

Aku benar-benar baru tahu kalau mereka bersaudara, setahuku dokter Zanu anak tunggal, begitupun juga Mr. Levi. Mungkin karena disetiap artikel tak pernah dijelaskan bahwa mereka bersaudara, dan pasti itu yang menjadikan aku maupun orang lain tak tahu bahwa mereka sebenarnya bersaudara.

"Hey… hanya kau yang tahu bahwa kami bersaudara, jadi jangan sekali-kali kau ceritakan ke orang lain".

"Memangnya kenapa?". Tanyaku pada dokter Zanu yang baru saja menjelaskan bahwa aku tak boleh menceritakannya ke orang lain.

"Kalau kau banyak tanya, aku tak akan mau kau wawancarai".

"Iya iya… aku nggak akan tanya-tanya lagi sama kamu, tapi kalau sama Mr. Levi boleh kan?".

"Nggak boleh juga".

Hah… kenapa semuanya jadi serba nggak boleh si, padahal Mr. Levi tersenyum manis padaku, mungkin saja ia membolehkanku mengajukan pertanyaan kepadanya.

"Jadi kapan kau mau kuwawancarai?".

"Besok kau kesini lagi".

"Beneran ya? Awas kalau bohong, aku juga sudah kecapaian karena hampir seharian membersihkan sayuran itu sendiri, aku pulang dulu".

"Eh… siapa suruh kau pulang".

"Lah… dokter tadi menyuruhku agar besok datang lagi".

"Tapi bukan berarti aku menyuruhmu pulang".

"Sudahlah Zan… kasihan gadis ini kecapaian, biar ia istirahat, jangan kau buat dirinya semakin kelelahan".

"Ya sudah kalau gitu, kau pulang sana".

Huh… sinis banget si Dokter Zanu ini, kenapa ia tak bisa bersikap formal seperti kakaknya ini, kalau saja dia bukan orang penting yang akan aku wawancarai, dan kalau saja taruhan wawancara ini bukan pekerjaanku, sudah kugibas habis dirinya.

"Kenapa kau masih disini?".

"Hmm… iya, ini juga udah mau pulang kok".

"Perlu diantar?".

"Ha…? Mr. mau mengantar aku pulang?".

"Dia udah bawa kendaraan sendiri kak, biar dia pulang sendiri".

Hmmh… lagi-lagi pemuda yang bernama dokter Zanu ini merusak kesenanganku, emang kenapa si kalau Mr. Levi mengantarku pulang, toh juga tak merugikan dirinya kan. Tapi… bagaimana dengan kendaraanku kalau aku diantar Mr. Levi, bakalan nggak ada yang mengantarkan ke rumahku dong, kalau sampai dibiarkan hilang bisa rugi aku. Mungkin memang sudah seharusnya aku melakukan pekerjaanku sendiri tanpa bantuan orang lain, ya seperti ini, harus pulang sendiri dengan kendaraan sendiri tanpa diantar orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar