Jumat, 15 Januari 2010

Ending Novel "Ingin Kubunuh Sahabatku"

* * *


Aku tak sengaja melihat mereka menelusuri tempat ini, aku tak tahu mau kemana mereka, kuikuti mereka layaknya seorang polisi yang membuntuti buronan, atau malah seperti seekor macan yang sedang mengincar mangsa. Dipertengahan jalan mereka terlihat menghentikan seseorang yang berkendara motor, itu pemuda yang pernah kuajak ke rumah Hana ketika aku menjenguknya. Alvino, untuk apa mereka menghentikan perjalanan pemuda itu, ada urusan apa hingga mereka pergi dengan Alvino. Aku tak tau mereka membiacarakan/menanyakan apa. Lihatlah… mereka terlihat serius.

Mereka berbalik arah, aku harus bersembunyi, aku tak mau mereka mengetahui keberadaanku. Tiba-tiba tanganku serasa ada yang menarik, ternyata Azka, sepertinya ia tahu bahwa aku butuh tempat persembunyian yang aman. Dibalik pagar tembok ini mereka pasti tak akan melihat kami.

Ternyata mereka lurus setelah mereka berbalik arah, bersama dengan pemuda bermotor itu menelusuri gang ini.

Aku mengikuti mereka, Azka menawarkan diri untuk ikut dalam penyelidikan ini, aku senang ia menawarkan diri untuk membantuku, aku mengiyakannya. Azka yang ternyata membawa motor pun kemudian menuntun motornya untuk mengimbangi langkahku yang pelan. Mereka berhenti didepan rumah Hana. Terlihat Hana langsung masuk ke dalam rumahnya, lalu Ryan, ia berlari lurus, mungkin ia mau menuju ke rumahnya, entah mau mengambil apa aku tak tahu.

“Lihatlah”. Azka mengeluarkan suaranya.

Ternyata Hana mengambil motornya, mereka masih berhenti didepan rumah Hana, setelah beberapa waktu lalu Ryan datang dengan mengendarai motornya. Akhirnya mereka meluncur, entah mau kemana aku tak tahu. Hana memboncengkan Lidia, sedang Nita menebeng Ryan, mereka lurus…

“Butuh tumpangan?”

“Sepertinya ini akan menjadi penelusuran yang seru”.

“Kau siap?”

Aku mengiyakan perkataanya lalu naik ke motornya, Azka tancap gas dari belakang mereka, mungkin jarak kami dengan mereka sekitar 10 meteran. Ternyata mereka mengikuti kemanapun motor Alvino melaju, aku yakin ini benar-benar seru…

Aku penasaran kemana mereka akan berhenti, dan mau dibawa kemana mereka sama Alvino, ini pasti sangat penting, aku yakin…

“Kau yakin akan mengikuti mereka”.

“Sudah sejauh ini apa aku harus memintamu untuk kembali?”

Ia tak membalasnya, mungkin ia hanya tersenyum mendengar jawabanku. Mungkin nggak ya Azka memikirkan hal yang sama denganku bahwa aku sangat penasaran mau dibawa kemana keempat sahabatku itu oleh Alvino.

Tanpa kusadari tiba-tiba aku ingat bahwa aku pernah menelusuri arah jalan ini, ketika itu aku sedang menuju ke sebuah tempat yang nyaman dimana tak ada satu orang pun yang menggangguku, karena waktu itu aku sedang bersedih.

Kudengar Azka seperti bertanya sesuatu padaku, karena aku tak terlalu mendengarnya, aku pun memintanya untuk mengulangnya sekali lagi supaya aku bisa menjawab pertanyaan yang baru saja ia lontarkan padaku.

“Kau tahu kemana arah jalan ini”.

“Aku pernah menelusuri jalan ini”.

Azka kembali diam, ia tak menjawabku, ia juga tak bertanya kemana sebenarnya arah jalan ini. Dalam hatiku selalu penuh Tanya, mau kemana mereka, mungkin seperti itu juga yang dipikirkan Azka.

Azka menghentikan kendaraanya setelah ia tahu bahwa mereka telah berhenti disuatu tempat. Itu tempat yang pernah kukunjungi, kini aku tahu bahwa mereka pasti sedang mencari persembunyianku dengan meminta bantuan dari Alvino.

“Kau tak ingin menghampiri mereka?”

“Temani aku”.

Azaka pun memintaku untuk kembali naik ke motornya, karena ia akan segera meluncur mendekati mereka. Hanya butuh waktu yang tak lebih dari setengah menit, Azka berhenti dan aku pun turun dari motornya. Aku tersenyum melihat mereka, terlihat mereka begitu kecewa karena tak mendapatiku.

“Kalian mencari sesuatu? Sepertinya kalian baru mengetahui persembunyian seseorang, tapi sayangnya seseorang yang kalian cari belum bisa kalian temukan, boleh aku menawarkan bantuan?”

“Tisna”.

“Saliza”.

“Indirani”.

“Tisna Saliza Indriani…”.

“Yup, that my name”.

Aku tak segera menghampiri mereka, karena merekalah yang terlebih dahulu menghampiriku. Terlihat dari raut wajah mereka seperti ingin mengatakan sesuatu.

“Cepatlah katakan, aku sudah tak sabar”.

Lidia tiba-tiba memelukku dengan erat, hingga nafasku terasa sesak didadaku. Sepertinya gadis ini telah menyadari kesalahannya dan sudah berhasil membunuh ego yang pernah mangkal didalam hati dan jiwanya.

“Jadi kau masih ingat aku?”

“Kau bercanda Saliza”.

“Aku tak tahu apa yang terjadi pada kalian hingga kalian menyadari bahwa aku masih membutuhkan kalian”.

Lidia, tiba-tiba ia menyodorkan sebuah buku sebesar klipingan tebal kepadaku setelah ia raih dari dalam tas cangklongnya. Aku tak tahu apa isi dalam buku ini, tanpa bertanya pada mereka aku langsung membukanya. Di halaman pertama kudapati sebuah judul dari buku ini, aku membacanya cukup keras.

“Sahabatku bukan penghianat”.

Aku begitu terkejut bahwa ternyata mereka punya naskah novelku versi cetak ini, padahal aku sendiri belum sempat mencetaknya. Aku penasaran darimana mereka bisa mendapatkan naskah ini, sedang naskah ini ada dalam komputerku.

“Mustahil kalau kalian punya ini”.

Aku benci ketika melihat mereka hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku, padahal aku benar-benar butuh penjelasan dari mereka darimana naskah ini bisa ada di tangan mereka.

“Darimana kalian mendapatkannya? Sedang aku yakin kalian tak tahu bahwa aku telah membuat novel ini”.

“Kau yakin ingin tahu darimana kami mendapatkannya?”

“Tentu saja Nit”.

“Pemuda yang mengantarkanmu kesiniliah yang memberikan naskah ini kepada kami”.

“Azka?”

Aku menoleh ke arah Azka setelah Hana memberitahuku, ternyata ia sudah berada disampingku sejak tadi, tapi aku baru menyadarinya.

“Kau masih ingat bahwa aku pernah mengatakan padamu bahwa aku akan membantumu, tapi tetap saja kau merasa yakin bahwa aku tak mungkin bisa membantumu. Aku yakin kamu pasti penasaran darimana aku mendapatkan naskah itu”.

“From where?”

“Kamu masih ingat bahwa aku pernah meminjam flashdiskmu?”

Mendengarnya aku pun mencoba mengingat-ingat kapan Azka meminjam flashdiskku, dan aku pun berhasil membuka memoriku.

So… you open my document?”.

“Maaf, tapi waktu itu aku benar-benar penasaran ingin tahu isi dari dokumen penting itu, meskipun bibirku mengatakan bahwa itu bukan hakku, tapi hatiku benar-benar penasaran ingin mengetahui isinya hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk membukanya. Awalnya aku hanya membaca judulnya, tapi saat aku sadar bahwa itu adalah milikmu, akhirnya aku memutuskan untuk mencetaknya agar aku bisa santai membacanya. Aku sempat terkejut ketika kudapati beberapa cerita nyata dibagian yang membuat aku yakin bahwa novel itu adalah novel karanganmu yang mengisahkan dirimu dan sahabat-sahabatmu. Meskipun semua nama kau samarkan, tapi aku tetap bisa memahami tokoh-tokoh dalam novel itu termasuk pemuda yang pernah menjadi tambatan hatimu lima tahun silam”.

Kak Wisnu? Aku baru sadar bahwa aku juga memasukkan tokoh itu dalam novelku, tapi kenapa Azka harus membahas bagian yang itu juga.

“Sebenarnya waktu aku datang ke rumahmu beberapa hari yang lalu, aku sudah tahu isi novelmu, tapi aku sengaja tak membahasnya denganmu karena aku masih ingin menunggu yang lainnya sadar dari kesalahan mereka, aku ingin mereka mencerna isi dari novel yang kau buat itu. Lalu, tadi kami sempat datang ke rumahmu tapi kami tak mendapatimu. Kami mencari-cari keberadaanmu tapi tetap saja tak ketemu. Akhirnya dipertengahan jalan kami bertemu dengan pemuda ini dan kemudian menanyakan perihal keberadaanmu, siapa tahu pemuda ini mengetahui persembunyianmu. Dengan senang hati pemuda ini mau membantu kami, dan akhirnya sampailah kami di tempat sepi ini”. Jelas Nita panjang lebar padaku.

“Dan aku sengaja membuntuti kalian”.

Aku tak tahu kalau ternyata waktu itu ketika Nita datang ke rumahku ia sudah tahu tentang novelku ini, aku tak tahu kalau dari raut wajahnya yang menurutku aneh itu ternyata ia menyembunyikan hal ini kepadaku. Pantas aku tak mampu menebaknya, lalu aku menatap Lidia, wajahnya begitu haru dan merasa bersalah.

“Lidia, aku tahu kau pasti merasa bersalah padaku dan ingin meminta maaf, tapi aku tak ingin mendengar kata maaf darimu karena aku telah memaafkanku, sejak awal aku juga tak sungguh-sungguh menyalahkanmu meskipun aku selalu gonduk setiap kali kau melontarkan kata-kata yang menyakitkan hatiku”.

“Maaf Saliza, waktu itu aku benar-benar buta hati, tapi aku benar-benar minta maaf, masalah surat yang pernah kau berikan itu, karena aku tak memberitahukannya ke Nita dan Ryan, bahkan aku tak pernah membalasnya. Tapi perlu kau tahu bahwa aku masih menyimpan surat itu di rumahku”.

“Aku sudah tak memikirkan masalah itu”.

Tiba-tiba Hana menghampiriku, ia tersenyum manis padaku, Lidia yang melihatnya kemudian mengeluarkan beberapa kata yang membuatku sedikit terkejut.

“Aku tak akan melarang kalian untuk berhubungan lebih dari sahabat, karena aku bukan Tuhan”.

Aku terdiam, bukan perkataan itu yang ingin aku dengar dari bibir Lidia, bahkan aku tak pernah berharap untuk menjadi kekasih Hana, aku ini sahabatnya, jadi tak akan pernah pantas menjadi kekasihnya.

“Aku tahu kau tak akan pernah membalas cintaku, karena aku tahu bahwa aku sahabatmu, tapi ada satu masalah yang selalu mengganjal dihatiku. Aku tak suka ending dari novelmu, aku nggak suka ceritanya. Kenapa endingnya sang tokoh utama yaitu kau harus rela membiarkanku dimiliki Lidia. Mungkin kau punya feeling bahwa Lidia menyukaiku, tapi sebenarnya dia tak pernah mencintaiku”.

“Oh ya?”

Aku tak tahu bahwa ternyata feelingku itu salah besar, kini aku baru sadar tentang satu hal Bahwa ternyata tak selamanya feeling itu selalu sesuai dengan kenyataan, intinya feeling itu bisa saja salah.

“Saliza, sory… kemarin ketika Azka memberikan naskah novel itu kepada kami, aku sempat menolak, bahkan aku sempat berkata seperti ini “Untuk apa? Itu bukan urusan kami”. Tapi Azka sempat mengatakan sesuatu seperti ini “Sepertinya kau yang harus pertama membaca isi naskah ini”. Yang sejak awal aku menolak, akhirnya aku mau menerima naskah itu karena aku cukup penasaran dengan ucapan Azka”.

“Begitu kah?”

“Dan akhirnya Nita menyarankan agar kami membaca bersama, salah satu dari kami ada yang membacanya dan yang lainnya mendengarnya, secara bergantian, sesekali kami memberikan beberapa komentar atas isi dari novelmu ini”. Tambah Ryan.

“Aku suka novelmu”. Puji Nita padaku.

“Tapi aku sempat heran sejak kapan kau kembali ke dunia tulis menulis itu”.

“Aku rindu pada duniaku itu, dan hasrat untuk kembali menulis tiba-tiba menggebu di benakku, dan akhirnya akupun mampu menyelesaikan naskah itu dalam waktu kurang dari satu bulan”.

“Boleh aku beri sedikit saran?” Azka mulai kembali mengangkat suara.

“Saran apa Ka?”

“Sepertinya ending dari novelmu itu mesti kau benahi”.

Usul Azka benar-benar membuatku tersenyum, mereka juga sangat setuju dengan usul pemuda tampan ini.

“Hey, why you silent? Kau pikir sedang nonton bioskop?”

Pemuda yang kutegur itu hanya tersenyum, aku benar-benar sadar bahwa Alvino sedang menyaksikan peristiwa ini. Lalu kuucapkan rasa terima kasihku yang mendalam kepadanya karena telah membawa keempat sahabatku kesini.

By the way, apa kabarnya Eliana? Apa kalian sudah menjadi teman baik?”

Mendengarnya Alvino hanya tersenyum, tapi senyumannya itu bukan sebuah senyuman yang mengisyaratkan bahwa ia senang, lebih tepatnya itu sebuah senyuman kecut.

“Sepertinya aku tak akan pernah melihatnya lagi”.

“Maksud kamu?”

“Dia sudah jauh”.

“Aku semakin tak mengerti dengan perkataanmu, bisakah kau jelaskan lebih detail?”

“Eliana sudah pindah keluar kota untuk selamanya bersama keluarganya”.

Aku tersenyum mendengarnya, aku tak percaya ia mengatakan hal itu, lihatlah… Eliana sedang berada dibelakangnya, tapi Eliana meminta agar aku maupun yang lainnya diam alias tak memberitahu keberadaannya saat ini. Aku jadi semakin penasaran dengan mereka, apa maksud semua ini.

“Apa kau punya rasa terhadapnya?”

“Jangan bercanda”.

“Aku serius”.

“Kalaupun iya, toh ia tak mungkin membalasnya, apalagi kembali kesini, mustahil”.

“Siapa bilang aku tak kembali kesini? Apa kau tak bisa melihat gadis dibelakangmu ini?”

“Eliana…!”

Pemuda yang berada dihadapanku ini benar-benar sangat terkejut melihat keberadaan Eliana yang tiba-tiba muncul dibelakangnya, mungkin ia seperti tak percaya masih bisa melihat gadis cantik itu, mungkin benar kalau pemuda ini menyukainya.

“Sejak kapan kau ada disitu?”

“Sejak kau mengatakan bahwa kau tak akan pernah melihatku”.

“Jadi kau mendengarnya?”

“Mendengar apa?”

“Yang tadi”.

“Aku tak mengerti dengan ucapanku”.

“Jangan bercanda”.

“Tapi aku suka bercanda”.

Sepertinya ini akan menjadi sebuah ending yang sangat indah, aku berjanji akan menghapus ending di novelku dengan mengganti ending yang baru saja datang ini.

“Aku rasa kita harus kembali, biar Alvino dan Eliana menyelesaikan percakapan mereka”.

“Kalian akan kembali?”

“Tentu”.

“Kau tega melihatku gugup seperti ini…”.

“Hey, ayolah Alvin… kau seorang pemuda yang pemberani”. Aku membalasnya sambil memberikan sebuah senyuman penyemangat untuknya.

“Tapi tidak untuk saat ini”.

“Kau jangan bercanda”.

“Kali ini aku serius kak Saliza”.

“Apa? Kau panggil aku kak?”

“Karena kau kakak kelasku”.

“Hmmzz.. jadi kau sudah tahu, oky… selamat menikmati”.

Aku pun meninggalkan mereka berdua, Eliana bersana Alvino, aku tak ingin menggangu mereka, keempat sahabatku mengikutiku dari belakang, begitu juga dengan Azka.

“Kau ingin menawariku untuk memberikan tumpangan padaku?”

“Tentu… silakan naik”.

Mendengarnya keempat sahabatku tertawa, aku tak tahu apa yang mereka tertawakan, karena aku rasa tak ada yang lucu dari perkataanku maupun perkataan Azka.

Akupun menawarkan mereka untuk berkumpul di rumahku, mereka menyetujui saranku. Kemudian kami tancap gas menuju ke rumahku, rasanya hatiku begitu tenang dan nyaman, aku lega karena masalahku dengan keempat sahabatku telah terselesaikan dengan baik, ini benar-benar akhir cerita yang indah dalam hidupku.

Setengah jam lebih kami menelusuri jalur yang sama, akhirnya kami sampai di rumahku. Mereka memarkir motor mereka di halaman rumahku, aku tersenyum melihat kebersamaan ini. Mereka pun langsung menuju ke rumahku, kemudian leyeh-leyeh di teras rumahku yang berkeramik ini. Lihatlah Ryan, ia langsung merebahkan tubuhnya, sepertinya ia juga lega dengan permasalahan yang telah terselesaikan ini. Bukan hanya aku maupun Ryan saja, tapi juga Hana, Lidia dan Nita, lalu Azka…? Sejak tadi sepertinya ia tak bisa berhenti tersenyum, persis seperti orang yang tengah mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara hingga ia tak bisa melupakannya.

Lihatlah… pemuda itu datang menengahi kebahagiaan kami, ternyata ia masih berani menemuiku setelah beberapa hari ini aku tak melihatnya. Bersama dengan mas Dennis ia menghampiri kami berenam, sepertinya mereka baru saja ngobrol di rumah mas Dennis. Mereka menebarkan senyuman ke kami, tapi aku tak bisa membalas senyuman itu, aku tak mau ia melihat senyuman termanisku yang pernah ada.

Aku tak tahu, kira-kira apa yang ada dalam pikiran sahabat-sahabatku termasuk Azka, apakah mereka memikirkan sesuatu yang aneh terhadap pemuda ini atau bagaimana, mereka diam, tapi mereka memberikan senyuman manis kepada kedua pemuda itu.

“Begitu mahalkah untuk mendapatkan sebuah senyuman darimu?”

Ia menanyakan sesuatu yang tak mampu aku jawab, kenapa juga ia harus bertanya seperti itu, ia terlalu basa basi, ia juga terlalu mempermasalahkan senyumanku.

“Kau tak mungkin bisa menghindar dariku”.

“Karena aku memang tak akan menghindar”.

“Kau menantangku”.

“Benar, aku memang menantangmu”.

“Kau tak takut?”

“Kenapa aku harus takut?”

“Karena aku telah berhasil menggali perasaanmu yang sudah pernah kau kubur dalam-dalam itu”.

“Kau terlalu yakin”.

Aku tersenyum miris, pemuda ini benar-benar terlalu yakin bahwa aku tak mampu bertahan dan ia telah berhasil menggali perasaanku yang pernah kukubur dalam-dalam itu. Aku heran, bagaimana mungkin pemuda ini bisa seyakin itu.

Suasana ini benar-benar terasa begitu hening bagiku, keheningan ini membuatku semakin tak tahu harus bersikap seperti apa didepan pemuda ini. Apa mungkin mas Dennis telah menceritakan curhatanku kepada pemuda yang pernah kucintai ini.

“Mas Dennis…”.

“Maaf Saliza, tapi Wisnu memang harus tahu”.

“Jadi mas Dennis membocorkannya?”

“Aku hanya ingin kalian bersatu”.

“Apa mas kira aku akan bahagia? Aku tak ingin terluka untuk yang kedua kalinya”.

“Saliza, kau tak akan mungkin bisa melupakannya”.

“Azka, darimana kau bisa yakin bahwa aku tak akan mungkin bisa melupakan sosok pemuda dihadapanku ini”.

“Coba kau buka novelmu, kalau nggak salah di halaman 51, kau bacalah pada paragraph terakhir”.

Aku pun mengikuti saran pemuda ini, kubuka novel halaman 51, aku pun kemudian membaca tulisan pada paragraph terakhirnya dengan nada dasar hingga mereka benar-benar mendengarnya dengan jelas.

“Aku benci saat tiba-tiba aku merindukannya seperti ini, aku benci saat aku memikirkannya seperti ini. Padahal aku ingin membuktikan padanya bahwa aku tak akan terjerat lagi kedalam pesona yang ia siratkan pada diriku. Dia benar-benar hebat, mampu membuatku kembali jatuh cinta padanya. Aku benar-benar gila dibuatnya, harusnya ia tak usah muncul dalam kehidupanku kembali, harusnya aku tak perlu mengingatnya kembali. Harusnya dia lenyap dari kehidupanku setelah ia pergi meninggalkanku begitu saja, aku tak perduli sekalipun ia pergi meninggalkanku untuk selamanya, tapi sepertinya aku tak akan mungkin bisa melupakannya”.

Aku baru sadar bahwa aku telah memasukkan kalimat ini kedalam novelku, aku benar-benar terjebak dalam permainanku sendiri, sekarang apa yang harus aku lakukan setelah aku merasa malu.

“Kau jangan pernah malu karena pernah menulis kalimat itu dinovelmu”.

“Azka, aku benci karena kau selalu bisa menebak pikiranku”.

Ia hanya tersenyum, harusnya ia membantuku untuk menutupi rasa maluku ini, entah mau kutaruh dimana mukaku ini, aku sudah terlanjur memperlihatkannya pada pemuda yang bernama Wisnu Danu prasetya ini.

Tapi aku harus bisa menghadapi pemuda misterius ini, harusnya aku bisa melacak karakter pemuda ini sebelum aku menantang keberaniannya.

“Saliza, harusnya kau rela membiarkan perasaanmu itu mengalir dengan sendirinya”.

“Apa maksud kamu?”

“Kalau kau memang masih mencintaiku, kau tak akan mungkin bisa membohongi perasaanmu sendiri, karena cintamu itu bukan sebuah paksaan”.

“Kalau memang begitu, lalu apa maumu?”

“Aku hanya ingin kau jujur pada hatimu jika kau memang masih punya perasaan terhadapku”.

“Jangan bercanda”.

“Apa wajah dan kedua mataku benar-benar terlihat bercanda dimatamu?”

“Ayolah… kau jangan membuatku semakin terpojok”.

“Aku senang kau mengakui hal itu”.

“Dan kau puas melihatku seperti ini?”

Ia hanya tersenyum, pemuda ini benar-benar penjahat dalam hidupku, dia ibarat seorang musuh yang telah menang dalam sebuah peperangan.

Kini aku benar-benar menyadari satu hal, Bahwa hati memang tak bisa berbohong pada diri sendiri. Aku juga benar-benar telah menyadari akan perasaanku ini terhadap pemuda ini, ia benar-benar mengalahkanku.

“Kau menang”.

“Ini bukan masalah menang ataupun kalah, tapi masalah perasaan”.

Kini, keheningan berubah menjadi sebuah kenyataan yang pasti, kenyataan yang tak mampu aku hindari, aku tak bisa berlari menghindarinya, kenyataan yang benar-benar terjadi dalam hidpuku, dan aku harus mempercayai kenyataan ini, dan itu yang aku benci.

“Apa kau masih mau mengelak dari perasaanmu itu?”

“Saliza, kau harus tahu satu hal bahwa Wisnu kembali hanya untukmu, untukmu seorang Za”.

“Untukku seorang?”

Bernarkah yang dikatakan mas Dennis bahwa pemuda ini memang kembali hanya untukku? Itu tandanya ia tak pernah melupakanku, dan aku selalu ada dalam hati, jiwa dan pikirannya. Apakah mungkin aku bisa mempercayai ucapan mas Dennis barusan.

“Kau tak percaya?”

Aku menggelengkan kepalaku, bukan karena aku tak percaya, tapi karena aku sendiri belum tahu pasti harus mempercayainya atau tidak.

“Apa kau masih sakit hati padaku?”

“Seharusnya kau menyadari hal itu”.

“Tak bisakah kau memaafkanku?”

“Sulit bagiku untuk melupakannya”.

“Lalu apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa memaafkanku”.

“Aku akan semakin sakit jika kau masih ada dalam kehidupanku”.

“Jadi harapanmu adalah untuk melenyapkanku?”

“Harusnya kau tahu itu”.

“Jadi jalan satu-satunya agar kamu bahagia memang itu? Tapi aku tak mungkin bisa ikhlas kehilangan dirimu untuk yang terakhir kalinya, tak bisakah kau memberikanku sebuah kesempatan?”

“Sepertinya kesempatan itu bukan untukmu”.

“Jadi kau benar-benar ingin mengusirku dari kehidupanmu?”

“Forever”.

Setelah mengatakan hal itu, tiba-tiba salah satu sahabatku menarik tanganku, Hana… apa yang ia lakukan? Wajahnya terlihat begitu serius, sepertinya ia mau mengatakan sesuatu hal penting padaku.

“Kau jangan mengatakan sesuatu yang bisa membuat dirimu menyesal, kalau kau menyuruh kak Wisnu pergi, maka selamanya kau akan sengsara karena tak bisa memilikinya, karena aku yakin kau tak akan bisa melupakannya”.

“Lalu bagaimana dengan perasaanmu terhadapamu? Kau pasti akan terluka”.

“Aku tak pernah serius mencintaimu”.

“Kau bohong”.

“Aku serius”.

“Jadi kau hanya bercanda? Keterlaluan…”.

“Dengarkan aku, kau itu beruntung bisa dicintai oleh pemuda seperti kak Wisnu”

Aku tak mengerti dengan pernyataanya ini, apa ia tak tahu bahwa aku sengsara karenanya, jadi mana mungkin bisa dibilang beruntung, mustahil.

“Jelaskan padaku maksud dari perkataanmu itu”.

“Kau mencintainya, diapun mencintaimu”.

“Intinya?”

“Tak semua orang seberuntung kamu yang bisa memiliki seseorang yang dicintaiya, jadi kau harus mempertahankan kak Wisnu”.

“Mempertahankannya? Untuk apa aku mempertahankannya?”

Lihatlah… Azka hanya diam, aku tak tahu apa yang ia pikirkan, begitupun dengan Nita, Ryan dan Lidia. Lalu mas Dennis dan kak Wisnu, mereka berdua menanatap ke arahku dengan tatapan mata yang cukup tajam. Mungkin mereka bertanya-tanya pada diri mereka sendiri apa yang sedang kami bahas.

“Kau harus yakin bahwa memang kak Wisnu adalah cinta sejatimu”.

“Sejak dulu aku tak pernah percaya dengan cinta sejati”.

“Paling tidak calon suami, pendamping hidup atau mungkin jodoh”.

“Aku belum memikirkannya sampai sejauh itu”.

“Oky, kalau gitu orang yang paling kau cintai yang bisa membahagiakanmu”.

“Tanpanya aku bahagia bersama kalian”.

“Ayolah… pikiranmu jangan kau buat dangkal”.

“Kau mengejekku”.

“Sekarang sebaiknya kau hampiri dia dan katakan padanya bahwa kau memberikan kesempatan untuknya”.

“Aku tak mau”.

“Kau harus mau”.

“Jangan coba-coba memaksaku”.

“Kalau begitu biar aku saja yang membertahukannya”.

“Jangan…!”

“Kalau begitu kau yang harus mengatakannya”.

“Aku bilang jangan memaksaku”.

“Kau benar-benar susah diatur, oky… aku tak akan memaksamu”.

Setelah itu aku meninggalkannya, lalu menghampiri kak Wisnu, tepat didepannya, meskipun hatiku merasa gugup dan gerogi, tapi aku mencoba mengendalikan emosiku dan menyeimbangkan keadaanku, dan aku harus bertahan karena telah terjebak dalam situasi seperti ini.

“Kau butuh kesempatan kan? Kau beruntung karena aku masih mau memberikanmu kesempatan”.

“Ini bukan semata-mata karena demi sahabatmu kan?”

“Ini murni demi perasaanku terhadapmu, jadi kau jangan sampai berpikiran seperti itu”.

Lihatlah… kak Wisnu tersenyum senang, begitupun dengan yang lainnya. Mereka benar-benar terlihat senang mendengar perkataanku, sepertinya mereka mendukung.

“Aku mencintaimu Saliza”.

“Jangan bercanda”.

Aku tersenyum setelah menjawab perkataan kak Wisnu, begitupun dengan yang lainnya, mereka bersedia mengembangkan bibir mereka kembali. Untuk yang terakhir kalinya, sepertinya aku benar-benar sangat bahagia.

Kini aku mendapat satu pelajaran berharga dari mereka, Bahwa memberikan sebuah kesempatan kepada seseorang adalah sama halnya dengan memberikan sebuah kebahagiaan yang tiada tara kepada orang itu.

So… untuk semuanya, aku hanya ingin berpesan, bahwa dimanapun dan sampai kapanpun, sahabat adalah keluarga yang tak akan pernah bisa menjadi bekas ataupun seorang mantan. Jadi intinya di dunia ini tak ada kata “Mantan Sahabat”, dan keinginanku untuk membunuh jiwa merekapun telah berhasil mereka lakukan sendiri.

* T A M A T *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar