Jumat, 08 Januari 2010

Ingin Kubunuh Sahabatku

* * *

Aku terdiam, merenungi nasibku seorang diri, dalam kesendirian yang mencengkram batinku. Aku tak pernah berharap lebih dari sebuah persahabatan kecuali sebuah kebersamaan dan kepercayaan yang pasti dari sahabat-sahabatku. Aku pun tak ingin meminta lebih dari mereka kecuali kasih sayang dan perhatian mereka. Peristiwa malam itu benar-benar membuatku cukup miris hingga sekujur tubuhku rubuh dan lunglai, tak mampu menahan kepedihan yang teramat menyakitkan dari beberapa kata yang ku dapat dari sahabatku.

“Kini aku tak bisa lagi menaruh simpati seperti dulu ke kamu setelah kamu melunturkan kepercayaanku terhadapmu, dasar pembohong...!”

Aku tak pernah berpikir sampai sejauh itu, aku tak pernah membayangkan betapa sakitnya menerima kenyataan malam itu. Kini aku tahu satu hal tentang sebuah persahabatan, Persahabatan akan retak jika rasa kepercayaan sudah tak lagi ditanamkan dalam sebuah persahabatan.

Bahkan aku sendiri tak tahu pasti permasalahan yang terjadi antara aku dan mereka, tiba-tiba mereka menuduhku melakukan hal-hal konyol yang membuat mereka marah dan benci kepadaku. Aku sendiri tak tahu apa hal-hal konyol yang mereka tuduhkan kepadaku malam itu, mereka hanya bilang bahwa aku bukan seorang sahabat yang pantas untuk di pertahankan, aku juga bukan seorang sahabat yang pantas untuk mereka. Coba pikir secara dalam, sahabat mana yang tak akan sedih dan perih mendengar kenyataan itu dari mulut seorang sahabat dekat yang sudah seperti saudara kandung.

Selama bertahun-tahun bahkan sejak kecil hingga remaja, aku selalu bersama mereka, mungkin kalau di hitung sudah lebih dari 10 tahun kami bersahabat. Aku mengenal mereka semenjak aku satu SD dengan mereka, aku ingat sekali waktu mereka berempat menyapaku dengan senyuman manis mereka yang cukup membuatku merasa terhormat. Merekalah yang pertama kali menjadi teman belajar sekaligus teman bermainku. Sebelumnya aku memang tak mengenal mereka karena aku belum pernah melihat mereka sebelum aku masuk sekolah. Mungkin karena aku jarang bermain, karena aku sering kungkum di dalam rumah sehingga aku menjadi gadis kecil yang kuper (kurang pergaulan).

Ibuku sering bercerita kepadaku dan kepada kakak-kakakku bahwa sejak aku dilahirkan aku sering sakit-sakitan. Bahkan Ibuku sering berjanji kepadaku jika aku sembuh, Ibuku akan membelikanku gelang juga kalung. Mungkin do’a Ibuku sering terkabulkan, aku sembuh dan Ibuku pun menepati janjinya untuk membelikanku gelang dan kalung. Namun, aku malah menghilangkan pemberian dari Ibu ketika aku beserta keluarga besarku menginap disalah satu rumah saudara kami ketika mengadakan pernikahan.

Kata Ibu, mungkin gelangku hilang di curi orang, karena waktu saat aku terbangun, tiba-tiba aku menangis cukup keras dan Ibu menghampiriku, Ibu terkejut ketika melihat perhiasanku raib begitu saja. Kata Ibu, aku menangis karena aku terbangunkan oleh seseorang yang mungkin mengambil gelang dan kalungku itu sehingga membuatku takut dan mengeluarkan air mata.

Mungkin karena saking pendiamnya diriku ini, aku jadi tak begitu mengenal sosok orang-orang di sekitarku. Tapi… ketika aku sudah lulus SD, tepat ketika aku kelas tiga SMP, entah ada apa dengan diriku waktu itu, tiba-tiba segala rasa takut, canggung dan kurang percaya diriku hilang begitu saja. Mungkin hal itu terjadi karena terpengaruh dengan pergaulan sahabat-sahabatku yang begitu nemplok dalam diriku. Ya… Merekalah yang mengubah hidupku menjadi sedemikian pemberani dan suka dengan hal-hal yang berbau ketegangan dan misteri. Aku memang tak pernah memecahkan sebuah misteri yang ada di kehidupanku, tapi aku cukup membuat hal-hal yang ada dalam hidupku adalah sebuah kemisteriusan. Bahkan terkadang, aku menganggap sahabat-sahabatku itu sebuah misteri yang belum terpecahkan sampai sekarang. Makannya mereka sering menganggapku aneh dan suka bertingkah konyol.

Dan kini aku tahu satu hal lagi tentang kehidupan, Semua yang ada disekitar lingkungan kita, mampu mempengaruhi kehidupan kita.

Kini mereka menjauhiku, membiarkanku sendirian di tepian jalan ini dengan berbungkus jacket hitam. Mereka seakan ingin membuangku jauh-jauh dari kehidupan mereka, bahkan mereka seakan menyesal telah mengenal dan menjadikan aku sebagai sahabat mereka selama bertahun-tahun. Mungkin dari mereka ada bilang seperti ini, “Gadis aneh dan konyol seperti dia tak seharusnya menjadi sahabat kita”.

Mungkin juga ada yang berkata seperti ini, “Cukup malam itu saja terakhir kalinya kita bicara dengan gadis yang namanya Tisna Saliza Indriani, dan sebaiknya kita menjauhinya.”

Ah, itu pasti akan membuatku semakin miris jika memang benar. Lalu… Siapa yang akan menemani kesendirianku? Siapa yang akan menegurku jika aku melakukan kesalahan, siapa yang akan memberiku kesempatan mengoreksi kesalahanku jika mereka pergi, siapa yang akan menjadi pelipur laraku ketika aku sedang bersedih, dan siapa pula yang akan menjaga dan melindungiku dari gangguan para cowok-cowok rese’ yang suka menganggu ketenangan hidupku.

Aku memang tak punya musuh, tapi kini, mereka seakan musuh terbesarku dalam hidupku yang menentang semua keinginanku untuk tetap bersama mereka. Mereka hanya salah paham, mereka sendiri tak tahu pasti siapa yang mengadu kepada mereka bahwa aku selama ini sering membohongi mereka. Bohong apa? Aku sendiri tak tahu telah berbohong apa kepada mereka.

Ku cari-cari beberapa kesalahan dan kebohongan yang pernah ku perbuat pada mereka, tapi aku tak pernah menemukannya sejak peristiwa menyesatkan malam itu. Nita Mardiana, Lidia Megawati, Ryan Malikan dan Dwi Hana Pambudi. Mungkin mereka berlima salah tangkap dalam masalah itu, tapi mereka menyimpulkannya dengan sesuatu yang terlalu berlebihan sehingga membuat mereka membenciku. Aku tak mungkin bisa hidup tanpa mereka, aku tak mungkin bisa berdiri tegak tanpa ada mereka disampingku.

Semakin malam, semakin dingin angin malam yang berkeliaran di tempat ini. Semakin kencang, semakin membuatku menggigil kedinginan, tapi aku belum siap untuk pulang ke rumah sebelum aku mengetahui letak kesalahanku kepada mereka. Suara langkah kaki seseorang yang bersepatu membuat pendengaranku semakin tak karuan. Semakin bising dan semakin ingin aku memarahi diriku sendiri.

Tiba-tiba aku mendengar suara seorang pemuda yang khas di telingaku dari belakang tempatku duduk di pinggir jalan raya ini. Ia memanggil namaku dengan sebutan gadis tomboy, ah… aku sendiri juga menganggap bahwa diriku yang dulu dan sekarang sangat berbeda, sekarang aku seakan seperti gadis yang bersifat lelaki. Sifat pemalu dan minderanku yang dulu melekat di kehidupanku telah lenyap begitu saja di buang oleh sahabat-sahabatku. Ya… Sahabat-sahabatku yang kini seakan menjadi musuh dan orang terasing bagiku.

Andai aku bisa membaca pikiran mereka, pastinya aku tahu apa yang mereka pikirkan tentang diriku selama ini. Tapi bodohnya, aku tak pernah mengharap kepada Tuhan untuk bisa membaca pikiran orang lain, paling tidak sahabatku.

Langkah kaki pemuda yang menegurku tadi serasa semakin dekat ke arahku, ku-meliriknya setelah ia benar-benar berada di dekatku, duduk disampingku sambil tersenyum menatap mataku.

“Penyesalan memang sering datang belakangan.”

Tiba-tiba ia mengucapkan kata-kata yang membuat otakku yang pas-pasan dalam menangkap pemikiran orang lain ini semakin tak mengerti. Mungkin, ia mengira aku menyesal karena kejadian malam itu, karena memang ia tahu kejadian itu, bukan cuman dirinya, tapi teman-teman yang ikut menghadiri acara reuni SMA juga sebagian besar tahu. Mereka hanya terbengong-bengong dan diam melihat aku dan keempat sahabatku adu mulut.

Pemuda disampingku ini tak lain dan tak bukan adalah teman semasa SMAku dulu, kami memang tak begitu dekat seperti kedekatanku dengan keempat sahabatku. Tapi ia cukup baik dan terkadang membuatku cukup terhibur disaat ia tiba-tiba muncul dihadapanku saat aku sedang sedih dan disaat keempat sahabatku tak bisa menghiburku. Seperti malam ini, ia tiba-tiba muncul tanpa ku panggil.

“Untuk apa kau mengikutiku?.” Kucoba bertanya kepadanya.

“Aku hanya tak ingin kamu melakukan hal-hal konyol yang membuat semua orang kehilanganmu.”

“Aku masih punya Tuhan, aku masih sayang dengan nyawaku, dan aku masih ingin menghabiskan waktuku di bumi ini.”

“Dan kau tak ingin meninggalkan sahabat-sahabatku dalam waktu yang cepat.”

“Siapa sahabat-sahabatku?.”

“Nita, Lidia, Ryan dan Hana.”

“Mereka sudah bukan sahabatku lagi, lebih tepatnya mereka mantan sahabatku.”

“Di dunia ini tak ada kata mantan sahabat.”

Aku merasa terdiam, dia benar, di dunia ini tak ada kata mantan sahabat, yang ada mantan kekasih, mantan majikan maupun mantan pembantu, mantan pegawai atau bahkan mantan istri dan mantan suami.

“Kalau bukan mantan sahabat, lalu mereka siapaku?.”

“Mereka tetap sahabatmu, meskipun kamu merasa mereka sudah tak memperdulikanmu, meskipun kamu meresa telah berbuat kesalahan besar terhadap mereka.”

“Merasa? Mereka memang tak peduli lagi denganku, aku memang telah berbuat kesahalan besar pada mereka.”

“Memangnya kamu sudah tahu persis letak kesalahanmu?.”

Aku berpikir lagi, dari mana ia tahu bahwa sampai malam ini aku belum menemukan letak kesalahanku terhadap keempat sahabatku itu. Apa mungkin ia tahu apa yang aku pikirkan? Tapi dia bukan peramal seperti Mama Lauren maupun Ki Joko Bodo, apalagi Om Deddy Corbuzier.

“Benar kan? Kamu belum tahu dimana letak kesalahanmu?.”

Ia kembali bertanya, membuatku semakin penasaran dengan tebakannya yang tepat itu, sehingga membuatku berbalik tanya darimana ia tahu bahwa aku masih mencari-cari kesalahan yang telah ku lakukan terhadap mereka.

“Malam itu kamu kelihatan bingung, kamu juga sangat terkejut dengan pernyataan mereka bahwa kamu adalah seorang pembohong. Kamu memang tak menyangkalnya, tapi aku sendiri tak tahu kenapa kamu hanya terdiam dan tak mau membela dirimu. Tapi yang ada dalam benakku, aku berpikir bahwa kamu sendiri tak tahu apa yang telah kamu lakukan sehingga membuat mereka sangat marah kepadamu. Dari situlah aku menyimpulkan bahwa kamu tak bisa membela dirimu karena kamu sendiri tak mampu membela dirimu.”

Aku kembali terdiam, ia benar-benar tahu apa yang terjadi padaku malam itu, ia bahkan langsung menebaknya.

“Hebat…! Kamu benar-benar hebat Ka, seorang Azka yang pendiam namun pemberani, mampu menebak pikiranku.”

“Kau salah, aku hanya menimbang kata-katamu malam itu hingga mampu ku simpulkan apa yang ada dalam pikiranmu.”

Kini aku tahu satu hal lagi, Hanya dengan mengetahui karakter seseorang, seseorang bisa mengetahui apa yang dipikirkan orang lain.

Tapi herannya, kenapa aku nggak bisa menebak pikiran orang lain? Aku nggak bisa membaca pikiran orang lain, aku bukan Azka yang pandai menimbang-nimbang karakter orang lain sehingga mampu menyimpulkan pikiran orang lain.

“Aku memang bukan pemuda yang pandai memecahkan masalah orang lain, tapi aku suka membantu memecahkan masalah orang lain.”

“Aku sendiri tak mampu memecahkan masalah ini, apalagi kamu yang tak terlibat dalam masalah ini. Aku yakin kau tak akan mampu membantuku dalam hal ini, sebaiknya urungkan saja niatmu.”

“Seseorang yang hebat adalah seseorang yang mau menghargai niat baik seseorang tanpa meremehkannya.”

Aku tak menyangka ia akan menyindirku seperti itu, membuatku mesti harus meminta maaf kepadanya. Namun, yang bikin aku tak pernah berhenti terheran-heran, ia begitu tenang menanggapiku, ia selalu terlihat stay cool setiap saat. Bahkan, membuat diriku harus memberikan dua jempol atas karakternya, meskipun secara diam-diam. Aku sempat berpikir, bagaimana ia bisa sering sendirian, punya sedikit teman, padahal ia baik, apa karena ia begitu polos dan pendiam sehingga membuat dirinya tak begitu suka berkumpul dengan orang banyak? Bahkan, setahuku, akulah teman yang paling dekat dengannya, meskipun dia bukanlah teman yang paling dekat denganku. Namun, malam ini begitu terasa beda, ia seakan telah menjadi teman yang paling dekat denganku.

Tapi mengapa sahabat-sahabatku tak ada yang bisa seperti Azka, polos, pendiam namun punya karakter yang cukup membuatku kagum. Nita, gadis bawel yang sangat cerewet yang hoby sekali tidur. Lalu Lidia, gadis manja nan lucu yang pipinya selalu terlihat cubby, membuatku dan sahabat-sahabat yang lainnya ingin selalu mencubiti kedua pipinya. Kemudian Hana, cowok yang rese habis, ricuh namun jenius, yang paling sering menjahiliku. Dan Ryan, cowok simple yang asyik untuk diajak sharing.

Lalu bagaimana dengan diriku? Aku tak pernah tahu pasti seperti apa karakterku, aku hanya tahu dari mereka bahwa gadis yang bernama Tisna Saliza Indriani adalah seorang gadis yang aneh bin misterius, susah di tebak, bahkan terkadang terlihat konyol karena tingkah lakunya.

Itu aku… Aku pun membenarkan pendapat mereka tentang diriku, mungkin seperti itulah aku yang sekarang.

Akupun berpikir kembali bahwa aku hanya manusia biasa yang terlihat sangat biasa dan tak berdaya diantara manusia-manusia biasa ciptaan Tuhan. Lebih tepatnya aku bukanlah manusia yang sempurna. Bahkan, untuk melihat pipi, punggung dan mencium salah satu sikukupun aku tak akan pernah mampu.

Tuhan…

Mengapa disaat aku bersedih

Sahabat-sahabatku justru pergi meninggalkanku

Tuhan…

Mengapa disaat aku butuh mereka dan merindukan mereka

Mereka justru tak datang menemuiku


Ternyata, tak selamanya seorang sahabat akan mengerti perasaan sahabatnya. Mungkin, inilah yang disebut dengan penghianatan dalam sebuah persahabatan.

* * *

Sampai sekarang, aku masih belum mendapatkan sebuah jawaban yang pasti atas kegundahanku. Mereka diam tak memperdulikanku, bahkan di kampuspun mereka tak menyapaku, apalagi tersenyum padaku, untuk melirikku saja mereka ogah. Padahal, Lidia dan Hana masih satu fakultas sastra denganku, bahkan masih satu kelas, tapi mereka seakan menganggap diriku seseorang yang baru dalam hidup mereka sehingga mereka enggan untuk mendekatiku. Ryan dan Nita, mereka beda kelas karena mereka beda jurusan dengan kami bertiga. Saat mereka masuk kedalam kelas kami untuk menemui Lidia dan Hana pun, mereka tak menyunggingkan senyum sedikit pun padaku. Mereka itu seperti angin, datang dan pergi yang tak pernah permisi apalagi pamit, memberikan rasa dingin, lalu pergi tak meninggalkan bekas apapun. Mereka persis seperti hujan, datang dan turun tiba-tiba, lalu berhenti dan pergi meninggalkan bekas air dan luka.

Begitu burukkah aku dimata mereka? Begitu besarkah kesalahanku terhadap mereka? Kini aku benar-benar merasa kesepian tanpa mereka disisiku. Mereka seakan tak memberi kesempatan untukku mengoreksi kesalahanku. Hana, selaku ketua genk, meskipun dia tak pernah mencalonkan dirinya sebagai ketua genk, tapi kami yang mengangkatnya jadi ketua genk, karena diantara kami hanya Hanalah yang paling pemberani dan berjiwa pemimpin. Sehingga mengharuskan kami memilihnya untuk menjadi sang ketua. Dia tak memberiku kesempatan, bahkan untuk menyuruhku mencoba berbenah diri pun tidak, apalagi untuk menyuruhku berubah. Apa itu yang namanya pemimpin yang berjiwa bijak? Atau memang kesalahankulah yang tak termaafkan sehingga membuatnya mengambil langkah untuk tak lagi berteman denganku.

Lihatlah… mereka terlihat bahagia tanpaku, di ngebrak itulah kami sering berkumpul. Kemarin masih ada aku yang mengiringi canda tawa mereka, sekarang berkurang jadi empat. Aku melintasi mereka dengan langkah yang tak pernah pasti, penuh kecemburuan yang tinggi, iri dan rasa ingin berkumpul lagi dengan mereka. Aku yakin mereka melihatku, tapi mereka seolah tak melihat seorang gadis melintas didepan mereka. Mereka seakan merasa eman-eman dengan mata mereka untuk melirikku, eman-eman dengan mulut mereka untuk menyapaku, eman-eman dengan tangan mereka untuk melambaikannya ke arahku.

Mereka bahkan tak berbisik membicarakanku, mungkin benar tebakanku semalam, bahwa mereka sudah tak mau lagi berteman denganku, mungkin benar apa yang ada dalam benakku semalam bahwa mereka tak akan membahas tentangku, cukup malam itu mereka berbicara padaku, dan mungkin itu untuk yang terakhir kalinya. Aku ingin sekali menjerit, memarahi mereka karena mereka diam, menghajar mereka satu persatu supaya mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan sangat membuatku sakit, terluka, perih bahkan tak konsentrasi untuk melakukan pekerjaanku.

Aku tak mungkin mencari sahabat lagi untuk menggantikan mereka, aku tak sanggup untuk mengganti mereka dengan orang lain, belum tentu pengganti mereka lebih baik dari mereka. Tapi kalau aku sendirian, apa mereka akan tergugah hati untuk kembali kepadaku, untuk memberikanku kesempatan kembali menjadi anggota mereka.

“Ah, nggak…! Aku tahu siapa mereka, mereka tak lebih dari orang-orang yang belum mengerti arti sebuah persahabatan, termasuk aku.”

Aku merasa jengkel, tapi aku tak bisa meremehkan mereka, sakit rasanya jika melihat mereka bersama tanpa diriku, ingin rasanya aku membanjiri kedua pipiku dengan tetesan butiran-butiran mutiara dari mataku. Tapi aku bukan seorang Tisna yang dulu, aku bukan Saliza yang cengeng, dan aku juga bukan Indriani yang pemalu. Tapi, rasa takut kehilangan mereka seakan menggerogoti pikiranku, harus sampai kapan semua ini berlangsung? Harus sampai kapan aku menunggu mereka sadar?

Ah… Aku tak mau menjadi gila karena memikirkan mereka, mungkin ini jalan yang terbaik untuk persahabatanku dan mereka, dan mungkin untuk ke depannya, aku mesti lebih bisa menjaga sikapku agar aku tak di tinggal lagi oleh sahabatku.

“Sahabat? Memang siapa yang mau menjadi sahabatku?”. Ujarku pelan namun cukup terdengar.

“Aku… Aku mau menjadi sahabatmu.”

Ah, pemuda itu lagi, lagi-lagi dia datang disaat aku sedang butuh seseorang untuk menghibur kesendirianku, lagi-lagi ia memberikan support kepadaku untuk tetap bertahan. Aku tak pernah tahu apa yang ia inginkan dariku, aku juga tak pernah tahu apa yang ia pikirkan sehingga ia tergerak untuk menolongku. Menolongku dari kesengsaraan batin, menolongku dari goncangan jiwa, menolongku dari ketidak berdayaanku tanpa mereka.

Otakku yang pas-pasan ini tak mungkin mampu menampung berbagai macam pikiran yang melanda hidupku yang mengharuskanku untuk tetap mencari jalan keluar atas masalahku. Mungkin ia memang ditakdirkan sebagai malaikat penolongku, ah… Aku tak mau jadi parno gara-gara memikirkan hal itu.

“Mereka bahagia tanpaku.”

“Mungkin kelihatannya mereka bahagia, mungkin juga kelihatannya mereka tak mau berteman lagi denganmu, tapi aku nggak yakin kalau mereka nggak merindukanmu.”

“Kamu bukan peramal, tapi kamu suka asbak.”

Azka hanya tersenyum manis, tak sedikit pun terlihat dari raut wajahnya yang menunjukkan rasa ketersinggungannya atas ucapanku.

“Andai aku bisa mengontrol emosiku sepertimu.”

“Kamu bisa…”

“Bagaimana kamu bisa yakin?”

“Dengan usaha kamu bisa mengontrol emosimu.”

“Caranya?”

“Tetap berpositif thinking.”

“Aku bukan sepertimu yang tetap tenang setiap menghadapi masalah, aku bukan sepertimu yang cuek dengan musuh, aku juga tak seperti dirimu yang seakan tak ada beban dalam hidupmu.”

“Mungkin kamu melihatku tak punya beban apa-apa, mungkin juga kamu berpikiran bahwa aku nyaman, tentram dan tenang dengan kehidupanku sekarang, itu karena kamu belum begitu mengenal siapa Azka.”

“Maksud kamu…?”

Aku berpikir heran, apa mungkin Azka punya masalah yang lebih berat dari masalahku? Apa mungkin ia menanggung beban yang berat karena ia mesti menjaga kedua adiknya yang masih sekolah, membiayai sekolah mereka, karena kedua orang tuanya sudah kembali ke rahmatullah beberapan tahun silam. Tapi ku lihat ia begitu tegar, bahkan ia tak pernah mengeluh dengan apa yang ia jalani. Ia bukan orang miskin yang mesti bekerja sampingan sana sini untuk mengganjal perutnya dan kedua adiknya. Pekerjaannya yang sekarang cukup bisa dibilang mapan sebagai seorang manager restoran mewah di kota ini, pemilik café persahabatan yang sering jadi tempat tongkronganku dan keempat sahabatku. Bahkan penghasilannya mungkin sama dengan penghasilan ayahku selama sebulan, atau bahkan lebih.

“Kamu itu suka bengong ya?”

Kini ganti aku yang hanya tersenyum manis kepadanya dengan maksud bahwa perkataannya itu memang benar, tapi aku tak tahu apa ia tahu maksud dari senyumanku ini.

“Kamu nggak ke café?”

Dia hanya menggelengkan kepala, lalu aku bertanya mengapa ia tak pergi ke café, paling tidak untuk melihat pegawainya yang sedang bekerja, mungkin untuk mengawasi mereka kali-kali mereka melakukan kesalahan.

“Mungkin Tuhan menyuruhku untuk menghiburmu.”

“Ternyata daya imajinasimu tinggi ya?”

“Ini bukan imajinasi Za, tapi ini sebuah panggilan.”

“Maksud kamu panggilan alam?”

“Emang mau buang hajat?”

Aku tertawa mendengar jawabannya, ia pun ikut tertawa melihatku tertawa, ia benar-benar hebat, seakan lebih hebat dari sahabat-sahabatku. Ucapannya mantap, meskipun terkadang sulit untuk kucerna, karena ia terlalu sering melontarkan kata-kata yang menurutku tak masuk akal, atau mungkin memang akunya sendiri yang kurang cerdas.

“Saliza…”

Aku merasa terpanggil oleh orang lain dari balik obrolan kami, aku dan Azka pun menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang telah memanggil namaku. Mereka… Mereka datang menemuiku, aku merasa mesti membuang rasa gundahku untuk menyambut kehadiran mereka, ternyata mereka masih mau menemuiku. Dan tadi yang memanggil namaku adalah Hana. Aku pun berdiri menghampiri mereka, Azka masih duduk di teras samping rumahku dengan tatapan muka tenang dan tersenyum.

Aku sempat bingung ketika melihat mereka yang tak menyunggingnya bibir mereka sama sekali, tapi aku mencoba berpositif thinking. Hana mulai berbicara ke pokok permasalahan mengapa ia datang ke rumahku.

“Kau menjatuhkannya saat kau melintas didepan kami, dan kami tahu ini sangat berharga buatmu.”

Hana memberikan kalung itu kepadaku, ya… kalung yang tak pernah aku pakai di leherku, tapi aku lingkarkan di pergelangan tanganku, bukan karena aku tak suka dengan kalung itu, tapi karena aku tak begitu suka memakai kalung. Itu kalung yang diberikan oleh salah satu sepupuku dihari ulang tahunku. Sudah dua tahun yang lalu, ketika aku masih semester satu. Sepupuku yang bernama Zea. Kenangan terakhir darinya sebelum ia pergi meninggalku untuk selamanya karena kecelakaan yang menimpanya tepat setelah aku ulang tahun, bersama keluarganya ia kembali ke rumahnya, tapi malang nian nasibnya hingga ia kecelakaan bersama ayah, ibu dan kakak lelakinya. Karena Zea duduk di depan bersama kakaknya, mungkin juga karena ia tak mengenakan sabuk pengamannya, ia jadi terbanting ke depan hingga menerobos kaca mobil depan. Beruntung ayah, ibu dan kakaknya selamat, tapi Zea. Nyawanya langsung lenyap seketika sebelum ia sempat tertolong oleh beberapa warga. Aku tak mampu membendung kesedihanku hingga hari-hariku selalu terpikirkan oleh bayangannya, senyuman manjanya, lesung pipinya ketika ia tersenyum. Aku sudah menganggapnya seperti saudara kembarku, beruntung aku pernah memilikinya dalam hidupku. Aku menerima kalung itu dengan hati miris mengingat nama Zea dan namaku yang tertulis di gantungan kalung itu, Saliza feat Zea.

“Kami memang tak pernah mengerti persahabatan diantara kalian.”

Mereka bergegas pergi setelah Hana mengucapkan kalimat itu kepadaku, mereka memang tak pernah mengerti persahabatan kami, kami bukan sekedar sahabat, tapi saudara, bahkan seperti saudara kembar. Mereka seakan langsung ingin pergi jauh meninggalkanku setelah mengembalikan kalung yang sekarang ku genggam erat-erat, tak ingin ku melepaskannya. Mereka memang tak pernah mengerti dan tak akan pernah mengerti persahabatan yang kami jalani, persahabatan yang jauh dimata namun dekat dihati. Aku dan Zea memang jarang sekali bertemu, paling kami bertemu ketika ada liburan kenaikan sekolah ketika kami masih menginjak bangku SD sampai SMA. Usianya lebih tua dua tahun dariku, membuatku harus menghormatinya, bersikap formal kepadanya. Namun, Zea tak pernah menginginkan aku bersikap sopan kepadanya, Zea menginginkan aku bersikap selayaknya seorang sahabat, yang asal nrocos tapi masih menggunakan akal sehat untuk berpositif thinking.

Mungkin mereka heran, bagaimana mungkin aku bisa dekat dengan Zea sedang aku dan Zea jarang berface to face, jarang berkomunikasi lewat handphone maupun telepon karena memang aku dulu belum pernah punya handphone, jika mesti menggunakan telepon rumah, paling sebulan sekali, itupun hanya untuk menanyakan sebuah kabar dari Zea. Terkadang malah pergi ke wartel untuk menelponnya di temani oleh mereka berempat. Mereka hanya tahu hal itu, mereka tak pernah tahu betapa berartinya Zea untukku, kami memang jarang berkomunikasi lewat handphone. Tapi kami sering mengirim dan menerima surat lewat kantor pos, meskipun itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menerima dan mengirim surat, mungkin kalau di hitung, mengirim dan menerima surat antara Jawa ke Padang sekitar satu minggu, itupun yang dibilang kilat.

Zea… Seharusnya aku memanggilnya kak Zea, tapi ia tak pernah mau dipanggil kak Zea, ia selalu bilang begini padaku. “Aku kan hanya lebih tua dua tahun darimu.” Mungkin juga karena tinggi dan besarnya tubuhku yang sama dengannya, jadi ia tak mau dipanggil dengan sebutan kak. Ah, kak Zea… aku rindu padamu.

Dulu, aku pernah meminta keluarganya untuk pindah ke Jawa supaya aku bisa sering bertemu dengan Zea, tapi orang tuanya tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Orang tuanya tak bisa meninggalkan usaha rumah makannya yang sudah bercabang-cabang itu.

Padahal, Zea ingin pindah kuliah disini, keluarganya setuju saja, tapi hal itu tak pernah tercapai, karena sebelum Zea pindah kuliah, ia sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Kini kakak lelakinya yang sudah berkeluarga tinggal di Jawa, bersama istrinya, kakaknya membuka usaha rumah makan Padang yang letaknya tak terlalu jauh dari tempat tinggalku. Bahkan jika aku makan disana, kakak Zea yang bernama kak Firman itu memberikannya dengan gratis kepadaku dan kepada sahabat-sahabatku yang ku ajak makan disana.

“Hah… Ternyata maksud mereka datang hanya untuk menyerahkan ini?”

“Itu tandanya mereka masih peduli padamu.”

Aku baru sadar bahwa Azka masih berada disini, ia pun mendekatiku dan menyuruhku untuk bersabar, mencoba menenangkan pikiranku agar aku tak mengeluarkan emosiku. Ia lalu pergi meninggalkanku begitu saja, mungkin ia meninggalkanku dengan maksud agar aku bisa berpikir lebih tenang tanpa siapapun yang mau menggangguku.

Bersambung . . .

* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar